Entri Populer

Minggu, 18 Maret 2012

Pendidikan



PERSOALAN PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH
Suatu Analisis Pendidikan Moral  Emile Durkheim
 dan Tinjauan Moral Kristiani

 I.            Pendahuluan

                               Latar Belakang Pemilihan Tema

Masalah moral merupakan salah satu problem yang sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, pemuka masyarakat dan para orang tua. Tidak henti-hentinya kita mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, seperti yang terjadi di beberapa daerah yang hampir setiap minggu diberitakan di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Bagi warga Ibukota bukan suatu hal yang aneh apabila mendengar atau melihat anak-anak sekolah melakukan tawuran (perkelahian antar pelajar) yang tidak sedikit menimbulkan sejumlah korban. Diperlukan waktu yang panjang dan upaya pendidikan yang sungguh-sungguh untuk mengatasi kondisi ini. Karena itu, pembahasan ini akan terpusat pada konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Emile Durkheim.
Emile Durkheim[1] hidup di masa Perancis yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan moral. Durkheim berusaha mencari suatu terobosan agar dapat menyatukan masyarakat Perancis melalui suatu pendidikan moral yang di ajarkan di setiap institusi pendidikan. Ia mengatakan, dengan adanya suatu pendidikan moral maka masyarakat di Perancis dapat memadu kehidupan sosial mereka. Inilah yang menjadi kunci mengapa Durkheim sangat konservatif dan mengutamakan adanya suatu keteraturan dalam masyarakat melalui solidaritas atau integrasi. Untuk dapat mempelajari pendidikan moral, maka Durkheim menggunakan metode ilmiah sama seperti mempelajari ilmu alam. Walaupun hidup di jaman di mana sosialisme Perancis begitu kuat pengaruhnya, Durkheim tidak sepenuhnya setuju dengan konsep ini. Menurut dia, Sosialisme dapat membuat moralitas dalam suatu masyarakat menjadi tinggi namun Durkheim tidak setuju ketika konteks Sosialisme dikaitkan dengan suatu kekerasan. Dengan adanya tingkat moralitas yang tinggi, maka cita-cita Durkheim untuk membentuk suatu masyarakat yang damai, teratur, dan bebas konflik akan tercapai dengan sendirinya.[2]

indah
                     Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Pendidikan merupakan segi yang penting dalam membentuk manusia cerdas dan mempunyai wawasan luas mengenai dunia. Oleh sebab itru setiap negara berusaha untuk mengembangkan sistem pendidikan di negaranya masing-masing. Sistem pendidikan di negara-negara maju dan berkembang lebih mesusatkan perhatian pada pendidikan intelektual dan keahlian. Hal ini menyebabkan terjadi suatu ketimpangan antara intelektual dan keahlian dengan moral dalam diri peserta didik.
Ketimpangan ini sudah dilihat oleh Emile Durkheim pada zaman di mana ia hidup. Rupanya masalah itu semakin berkembang hingga zaman sekarang. Akibatnya banyak manusia yang cerdah dalam bidang ilmu pengetahuan dan keahlian tetapi kosong dalam bidang moral.
Oleh sebab itu, Emile Durkheim menunjukkan sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan ini dengan mengajarkan pendidikan moral di sekolah. Dengan pendidikan semacam ini tentu saja peserta didik memahami dan terbiasa dengan pendidikan sehingga mereka dapat bertindak sesuai dengan pendidikan yang ia dapatkan itu. Inilah yang menjadi pokok pembahasan kami dalam paper ini dan hanya terbatas pada pendidikan moral di sekolah menurut Emile Durkhein dan analisis moral serta kebijakan pastoral dalam sistem pendidikan di Indonesia.


                               Tujuan Penulisan

Paper ini diajukan pertama untuk memenuhi tugas, UTS dan UAS mata kuliah Moral Sosial. Kedua untuk memaparkan  pendidikan terutama mengenai pendidikan moral di seturut pandangan Emile Durkheim dan aplikasinya dalam teologi moral serta tindakan pastoral yang tepat untuk sistem pendidikan di Indonesia. Ketiga untuk membantu orang tua dan para pendidik memperoleh suatu pemahaman dan penjelasan yang berkaitan dengan pendidikan moral. Keempat sebagai sutu refleksi bagi para penulis akan pentingnya pendidikan moral seturut pendapat Emile Durkhein dan moral kristiani.

II.                           Problem Sosial
Fenomena yang terjadi di negara ini memunculkan berbagai macam pertanyaan. Mengapa banyak sekali masyarakat Indonesia yang bertingkah laku dan berkelakuan seperti hewan? Padahal tidak jarang dan bahkan banyak para pelaku itu mempunyai pendidikan yang tinggi. Kalau dilihat dari faktor pendidikan, seharusnya seseorang yang mempunyai pendidikan tidak akan bertindak yang bukan-bukan dan bisa menjadi contoh bagi orang lain disekitarnya yang nota bene kurang dalam hal pendidikan. Tapi mengapa kelakuan atau akhlak mereka tidak lebih atau bahkan jauh berada dibawah dari orang yang tidak berpendidikan?.[3]
Pendidikan di Indonesia pada saat ini cenderung lebih mementingkan aspek akademis tanpa menghiraukan akhlak dan moral para peserta didik. Hal ini bisa kita lihat di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Sebagai contoh, seseorang murid SMU yang nakal dan suka dengan free seks dapat lulus dari SMU dan meneruskan keperguruan tinggi hanya karena nilainya mencukupi standar kelulusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Coba kita bayangkan apa yang akan terjadi apabila Negara Indonesia ini dipimpin oleh orang yang hanya mempunyai nilai akademis yang tinggi tapi tidak bermoral. Apa yang akan terjadi dengan negara ini? Pendidikan Indonesia menganut atau lebih condong pada sistem pendidikan liberal yang mengesampingkan pendidikan moral dan hanya mementingkan pendidikan akademis. Kapan Indonesia bisa maju kalau pendidikan moral di semua sekolah ditiadakan? Apakah Indonesia bisa maju kalau hanya mengandalkan pada kepintaran akademis?.[4]

III.     Pendidikan Moral menurut Emile Durkheim

            Pengertian  dan hakikat pendidikan moral
Pemikiran pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah berorientasi pada moralitas. Menurut Durkheim pendidikan adalah upaya yang terus menerus untuk mengisi jiwa anak dengan cara atau jalan melihat, merasa dan bertindak, dimana upaya itu diterima dan dicapai oleh si anak tidak secara spontan tetapi bersifat diarahkan. Sejak lahir seorang bayi dilatih (dipaksa) untuk makan, minum dan tidur pada waktu yang telah ditentukan, disisi lain ia juga dilatih untuk tenang, bersih dan menurut apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kemudian ia bertambah besar, kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan paksaan saja karena ia tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat luas, oleh karena itu dia harus dibimbing dan dibina untuk memikirkan orang lain, memahami lingkungan, menghormati adat-istiadat, serta merasakan pentingnya suatu karya. Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan tersembunyi  pada individu yang mengganggu penampakannya, namun pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru.[5]
Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya ajaran normatif yang menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan, terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya menyangkut sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang didasarkan pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada di luar diri pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang moralitas semestinya juga bersifat rasional dan sekuler. Seperti telah disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya sedang mengalami prosestransformasi. Dengan kecenderungan visi sejarah yang bersifat evolusionistis ia merasakan pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak memadai. Sistem tradisional, katanya ternyata hanya bisa bertahan karena keajaiban ekuilibrium (keseimbangan) dan kekuatan kebiasaan. Padahal sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi berpijak pada dasar yang kuat.[6]
Disaat perkembangan ilmu pengetahuan yang makin deras dan disaat homogenitas alam telah terpecah-pecah maka dasar moral tidak bisa hanya dilihat sebagai apa yang disebut imanuel kant “kategori imperatif “ –suatu dorongan dari dalam diri untuk berbuat etis. Bukan dasar yang internal itu yang biasa dipakai sebagai ukuran melainkan sistem perbuatan yangt ampaknya obyektif. Bagi Durkheim kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah. Moralitas menurutnya haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.[7]
Moral menurut Emile Durkheim juga berhubungan dengan bagian yang fungsional dari masyarakat.  Moral terlibat pula dalam proses historis yang bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan struktur sosial. Lebih lanjut moral menurut Emile Durkheim meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku dan bisa juga dalam pengertian wewenang. Pada definisi keteraturan tingkah laku dan wewenang sebenarnya merupakan dua aspek dari satu hal yaitu disiplin. Dengan kata lain bahwa disiplin dibentuk dari keteraturan tingkah laku dan wewenang.[8]
Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang, atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan tersebut tidak bersifat sosial.[9]
Dengan demikian menurut Emile Durkheim pendidikan moral merupakan suatu aktifitas yang harus dilatih dan mungkin dipaksakan bagi setiap orang  sejak dini untuk menjadikan anak yang baik dan mempunyai  tingkat kesadaran moralitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat sosial pendidikan moral haruslah bersifat rasional. Durkheim mengacu pada pendapat –pendapat kaum rasionalis yang menyatakan bahwa tidak ada realita apapun yang membenarkan seseorang membuat pertimbangan secara mendasar diluar lingkup penalaran manusia.[10]
3.2    Tujuan Pendidikan Moral
Emile Durkheim bagi banyak orang disebut sebagai juru bicara paradigmatik dari mereka yang mengembangkan konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral. Sebutan semacam itu agaknya cukup beralasan  kalau kita kaitkan dengan pelbagai pandangan Durkheim yang antara lain melihat bahwa tujuan-tujuan moral adalah segala sesuatu yang berobyekkan pada masyarakat, ranah moral akan berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas dimulai dari keterlibatan seseorang pada masyarakat dan bukan tindakan–tindakan yang merefleksikan kepentingan individu semata.[11]
Dalam teori sosiologi menurut Emile Dukheim, proses sosialisasi harus dilihat sebagai faktor yang hakiki dari pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan watak. Selain itu  teori Emile Durkheim menyatakan bahwa: Manusia baru menjadi manusia, sebab dia hidup di masyarakat. Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena dia hidup dimasyarakat.Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki tujuan, tugas dan akar.Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat. Moralitas sosial tidak selalu sama dengan moralitas konvensional.[12]
Dari pernyataan ini memunculkan pandangan bahwa Emil Durkheim lebih melihat bahwa makhluk individual adalah makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak akan tercipta  dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa direduksi hanya sebagai kumpulan individu-individu semata, melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru yang sui generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri khas anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang tentunya berbeda dengan individualitas pembentuknya.  Dalil yang digunakan Durkheim adalah bahwa kombinasi elemen-elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru yang sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing elemen pembentuknya. Jadi kombinasi tersebut menjadi sesuatu yang justru melalui penggabungan-penggabungan pembentuknya. Dalam proses penggabungan terjadi kontak dan interaksi antara masing-masing individu yang melibatkan tindakan, pikiran, maupun perasaan sehingga melahirkan kesadaran kolektif.  Dengan demikian masyarakat menjelma menjadi makhluk moral yang mempunyai ide-ide, tindakan, dan perasaan yang khas yang tidak pernah menjadi ciri individu bila hidup terpisah-pisah.[13]
Disamping itu jika masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga harus dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan tidak hanya karena  berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan masyarakat setiap orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya mungkin terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab dalam kenyataannya mengaitkan diri dan makhluk lain selalu berarti sampai tingkat bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk tersebut apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.[14]
Namun bagaimana mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam kesadaran individu, jika masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan berbeda dengan individu. Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan  karena kepentingan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara individu dan masyarakat. Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan pada posisi resiprokal dan kedua makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi antagonis. Sejalan dengan itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya mengidentifikasi hakekat dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak dapat sepenuhnya merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia telah melibatkan diri dalam masyarakat.
Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar. Demikian pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku manusia. Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha- usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi. Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.[15]
3.3              Sumber pendidikan moral
Gagasan Emile Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada pendidikan moral yang rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama didalamnya . Moralitas bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi  kesepakatan bersama. Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim. Unsur-unsur tersebut adalah semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi  Durkheim menolak sumber moral adalah agama. Hal ini disebabkan analisa Durkheim bahwa kini peranan Tuhan hanya menjadi pengawal. Sistem moral tidak diciptakan untuk kepentingan-Nya melainkan demi kepentingan manusia. Tuhan hanya bercampur tangan dalam membuat moral agar lebih efektif. Sejak saat itulah kewajiban manusia sebagian besar menjadi bebas dari gagasan religius sehingga ia tidak lagi merupakan landasan pijak bagi perkembangan moral.[16]
Tahapan perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada awalnya tidak dibangun sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis manapun. Namun demikian pertalian yang sejak semula memadukan dan mengikat  kedua sistem tersebut semakin lama semakin longgar. Maka usaha melepaskan ikatan tersebut secara definitif berarti mengakui arus sejarah. Persis pada titik inilah proses sekularisasi moral merupakan kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. Durkheim menyadari bahwa upaya menjadikan proses yang dimaksud tidak akan hanya cukup dengan mengajarkan moralitas warisan leluhur seraya menghindarkan segala kebutuhan untuk menemukan kembali jalan menuju gagasan religius. Lebih dari itu diperlukan transformasi menyeluruh.[17]
Mengapa transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dan moralitas telah menjadi satu dalam sejarah selama berabad-abad. Kedua sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum hubungan keduanya disa dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa diwujudkan. Baik kepercayaan maupun moral haruslah ditopang pada landasan yang sama yaitu Tuhan. Dia adalah pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai moral tertinggi.[18]
Inilah sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama dan moral sama-sama memiliki unsur kewajiban. Orang bahkan dengan mudah melihat bahwa beberapa elemen dari kedua sistem tersebut saling mendekati satu sama lain, sehingga membentuk hanya sebuah sistem. Gagasan moral tertentu menyatu dengan gagasan religius sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Oleh karena itu apabila dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang semata-mata berusaha mencabut apa saja yang dianggap bersifat moral tanpa mencari unsur penggantinya, hal ini merupakan yang bersangkutan sekaligus mencabut semua elemen yang sebetulnya adalah moral itu sendiri. Upaya mencari jalan keluar metodis dari masalah ini sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat dilakukan dengan mencari tepat pada jantung konsepsi religius, hakekat realitas moral yang terkubur dan tersembunyi di dalamnya.[19]
Jadi seseorang harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang sama harus menemukan unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan mengungkapkannya dalam bahasa rasional. Dalam hal ini kecenderungan Durkheim adalah menggantinya dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasional sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan.[20]
Demikianlah gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas sekuler yang ingin mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak agama sebagai titik pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus dijadikan alasan untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas tidak mungkin digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat mistis  dan Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak persepsi kaum empiris utilitarian yang disatu pihak menawarkan gagasan rasional tentang moralitas namun  menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan mereduksi ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.[21]
Terlepas dari itu semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan prinsip-prinsip moral membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda. dan sebagian lainnya, memberikan tekanan pada satu elemen dan tidak pada elemen yang lain. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa Durkheim acap kali dilukiskan sebagai sosok yang begitu perhatian pada norma-norma moral dan tindakan-tindakan yang bersifat wajib, lebih lagi kalau melihat kecenderungannya terakhir yang begitu besar perhatiannya pada ide-ide moral.
Prinsip-prinsip moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk dan asas kehidupan moaral yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik melalui proses pendidikan moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral adalah jantung bagi pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus diajarkan sedemikian rupa sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk melaksanakan dengan mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-pertimbangannya.[22]
3.4        Metode pendidikan moral
Bagaimana membangun unsur-unsur moralitas pada anak.? Pertama, dalam mengembangkan unsur-unsur moralitas pada anak adalah, dengan metode pembiasaan (membangun disiplin). Untuk mebangun disiplin ada dua unsur yang terkait di dalamnya yaitu keinginan adanya keteraturan dan keinginan tidak berlebihan serta penguasaan diri. Pada usia dini anak harus dapat dididik  untuk membiasakannya dengan keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara untuk merangsang kemauan anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih menaati kaidah peraturan, maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang patut dihormati yaitu otoritas moral yang ditanamkan pada anak.[23]
Kedua, metode hukuman dan penghargaan. Hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap peraturan. Memang dengan adanya hukuman tidak menjamin segala sesuatu berjalan baik, namun hukuman itu diharapkan sekurang-kurangnya dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dalam mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Menghukum bukan berarti membuat orang lain menderita secara jasmani dan ruhani, karena hal ini bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan yaitu menghargai martabat manusia. Hukuman hanya simbol   yang gamblang dari keadaan batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan diberikan dalam dosis terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat bijaksana, karena pengaruhnya akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara bijaksana.[24]
Ketiga, adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam menumbuhkan solidaritas pada anak. Untuk membentuk unsur moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial maka Emile Durkheim mengambil sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk selalu merasa dirinya berada di lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai solidaritas tinggi terhadap orang lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia lakukannya..
Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anakmenghargai pendapat orang lain.[25]
Keempat, adalah metode keteladanan. Dalam pendidikan moral Emile Durkheim, keteladanan yang ditunjukkan oleh seorang pendidik merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pendidikan moral. Menurutnya pendidik adalah agen moral masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam pembentukan moral dan pengalihan budaya.  Pendekatan sosialisasi moral dalam pendidikan Emile Durkheim menyatakan bahwa murid atau siswa dapat mempelajari nilai-nilai moral dan perilaku apabila pendidik mampu mengajarkan secara aktif nilai-nilai moral tersebut. Emile Durkheim percaya tentang proses pengajaran moral dapat difasilitasi dengan cara menjelaskan tentang bagaimana para pengajar mampu mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan perilaku personalnya. Tentang penggunaan metode pendidikan moral banyak tokoh yang memandang bahwa metode pembiasaan dan keteladanan adalah hal yang sangat penting dalam rangka membentuk anak didik mempunyai moralitas yang baik. Metode lain ialah memberikan pendidikan moral yang tidak terlepas dari keteladanan para guru, selain itu juga metode yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan moral baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat mensugest si anak didik. Disamping itu, untuk membentuk moral yang baik ada beberapa metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap apa yang dianggap baik, metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, setelah anak didik diberi pelajaran.[26]
3.5        Materi pendidikan moral
Materi pendidikan moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum).  Jadi setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya.  Di dalam sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.[27]
Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral.  Materi pendidikan moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya dengan situasi-situasi moral.  Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.[28]
3.6        Peran dan syarat pendidik moral
Masalah pendidik moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem pemikiran Durkheim. Hal ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya tentang filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim belajar adalah satu proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan mempengaruhinya kecuali masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah menciptakan suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.[29]
Posisi guru yang begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya  yang demikian besar, sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara optimal. Namun untuk lebih efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus memiliki beberapa kualitas pokok Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut dengan otoritas moral. Guru pendidikan moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi contoh bagi anak didik baik dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang idola anak didiknya maupun pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan tertib dan efisiensi. Oleh karena itu guru harus dibekali dengan otoritas moral, karena tanpa otoritas seorang guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat mengajar atau mengembangkan peserta didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan bagi kehidupan moral. Kualitas pokok yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar bukanlah sekedar mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan tetapi mengajar lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar, kata Durkheim perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik. Demikianlah pandangan Emile Durkheim mengenai pendidikan moral, meliputi konsep dan hakekat pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidiakn moral, materi pendidikan moral, metode pendidikan moral, serta peran dan syarat pendidik moral.[30]

IV.           Analisis – Refleksi Teologis Moral
4.1      Tanggungjawab[31]
            Dalam komunitas sekolah, kantor dan instansi-instansi lainnya dengan pembagian tugas yang berbeda-beda dibutuhkan tanggung jawab terhadap tugasnya. Nilai tanggung jawab menjadi tanda khas kedewasaan seseorang. Nilai tanggung jawab menjadi penting dalam sekolah, rumah tangga dan komunitas di mana pun seseorang berada. Orang yang bekerja dengan tanggung jawab tidak akan menghindar bila berhadapan dnegan kesulitan dan kekurangan komunitas di mana ia berada. Tanggung jawab mengandung muatan perjuangan dan kerja keras. Hal ini telah ditunujukkan oleh Yesus Kristus ketika Ia berada di dunia ini. Rasa tanggung jawab yang ada dalam diri-Nya membuat Dia berjuang dengan kerja keras dalam menuntun bangsa-Nya kepada keselamatan.
4.2       Kejujuran[32]
Kejujuran dituntut supaya orang hidup dalam kebenaran. Apalah artinya hidup ini kalau tidak ada kejujuran dan kebenaran! Orang yang tidak jujur bakal tidak akan dipercayai. Menjaga kepercayaan itulah perjuangan manusia menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Orang yang tidak lagi dipercayai oleh sesamanya ia dianggap sebagai manusia yang tidak berguna. Kejujuran menjadi dasar untuk kebenaran dan kepercayaan diri. “Barang siapa yang setia dan jujur dalam perkara-perkara yang kecil ia setia juga dalam perkara-perkara besar” (Bdk. Lukas 16: 10). Artinya ia akan dipercaya mengurus pekerjaan lebih besar, investasi kepercayaan orang kepadanya meningkat. Hidupnya menjadi lebih berarti.
Tanpa penanaman nilai kejujuran di sekolah, banyak anak yang menyelesaikan ujian dengan menyontek. Anak yang lulus ujian dengan cara menyontek adalah sebuah penipuan. Penipuan yang dimulai di kelas sejak kecil, bakal menjadi sikap dasar untuk karyanya selanjutnya dan dimana saja dia berada. Penipuan dan sikap tidak jujur yang dimulai di sekolah dan di rumah sejak kecil menghantar seseorang pada tindakan korupsi. Tindakan korup merupakan salah satu penyakit sosial di negara kita ini mulai dari pusat sampai kedesa-desa. Karena itu, tidakan korup menghambat lajunya pembangunan bangsa. Kita perlu menanamkan nilai kejujuran dalam hidup.  
4.3       Kedisiplinan[33]
            Setiap kegiatan membutuhkan perencanaan dan pengalokasian waktu yang jelas. Proses belajar mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh pengaturan jadwal kegiatan dengan porsi waktu secara pasti. Dengan kepastian jadwal, maka pendidik, pegawai dan peserta didik akan datang dan pulang tepat pada waktunya. Setiap orang yang mau menjadi murid yang baik harus disiplin. Demikian pula dengan para pendidik dan para orangtua yang sehari-hari berurusan dengan pelayanan para murid, perlu memiliki semangat disiplin.
            Kedisplinan bukan hanya dalam hal ketepatan waktu tetapi terutama penataan diri dan kepribadian. Dalam hal ini kedisiplinan berarti kebersiahn dan kerapian dalam menata  lingkungan hidup dan lingkungan kerja. Kebersihan dan kerapian juga dalam hal bertutur bahasa, tidak menggunakan kata-kata kotor dan caci maki.
            Dengan kedisiplinan orang akan terbiasa dengan berbicara dengan baik dan benar dan dengan bahasa yang baik dan benar pula. Kedisiplinan membantu orang untuk bersikap ramah, sopan santun, berperilaku baik terhadap lingkungan dan sesama. Dia akan menghargai kehidupan, pertumbuhan dan kesegaran bersama semua orang dan dengan segala makhluk.
4.4            Kebebasan
Setiap individu mempunyai kebebasan yang berasal dari Allah. Oleh sebab itu manusia tidak boleh membelenggu talenta, kemampuan dan potensi manusia lain. Setiap orang berhak mengeksplorasi diri masing-masing dengan cara pengembangan diri yang sesuai dengan apa yang cocok bagi mereka. Sebab Tuhan telah memberi kemampuan bagi mereka sehingga secara bebas dan bertanggungjawab mengembangkan diri masing-masing sesuai dengan suara hati mereka.
Peserta didik perlu dipacu agar memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengemukakan pendapat dan gagasan mereka masing-masing yang merupakan energi dari kebebasan. Kegiatan pendidikan yang berhasil menanamkan kesadaran tentang kebebasan berarti sekolah berhasil membangun pondasi mental pantang menyerah terhadap keadaan atau membelenggu gerak kehidupan peserta didik. [34]

V .     Tindakan Pastoral

5.1              Program/Aksi Pastoral

Pendidikan moral di sekolah adalah tugas utama lembaga pendidikan swasta dan pemerintah sebab pengelolaan sekolah dipegang oleh mereka. Kalau kitta melihat kedua lembaga pendidikan ini, boleh dikatakan bahwa lebih mudah membentuk program di sekolah swasta daripada di sekolah yang dikelola oleh pemerintah kecuali jika program itu berasal dari pemerintah.
Salah satu lembaga swasta yang mengelola pendidikan ialah Katolik. Adapun program dan aksi pastoral yang dapat dilakukan Gereja adalah; pertama, membangun kesadaran moral guru. Guru sebagai pendidik utama dalam pendidikan moral dalam bentuk formal memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan moral anak. Guru sebagai figur harus memiliki sikap moral yang baik yang terpancar melalui sikap, tutur kata, dan cara hidupnya. Dengan demikian guru sebagai figur moral tersebut, diharapkan dapat memberikan contoh atau teladan moral kepada anak didiknya. Kedua,  sekolah menyajikan kurikulum pendidikan moral bagi siswa secara berkesinambungan. Pendidikan moral yang baik itu tidak hanya terjadi dilingkungan sekolah, tetapi terjadi juga di dalam rumah tangga. Sekolah juga menyediakan fasilitas yang dapat menunjang pendidikan moral anak, seperti mengadakan rekoleksi, retret, konseling dan kegiatan rohani lainya yang dapat mengembangkan pendidikan moral anak. Ketiga, orangtua sebagai penanggungjawab pendidikan moral, memiliki peranan yang tidak dapat digantikan. Hal itu disebabkan karena peranan orangtua merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses pendidikan moral. Orangtua merupakan kunci sukses pembentukan moral anak. Anak akan melakukan dan bersikap berdasarkan apa yang dapat dilihat dan didengar dari orang tuanya.[35]

5.2              Sosialisai
Kesaksian hidup merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam pengembangan pendidikan moral anak. Pendidikan moral yang diajarkan oleh para pendidik di sekolah, dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat melalui kesaksian hidup. Kesaksian hidup merupakan suatu sosialisali yang urgen dalam kehidupan sosial. Kunjungan keluarga siswa juga merupakan salah satu sosialisasi dalam pengembangan moral anak. Selanjutnya bentuk sosialisasi dari sekolah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral anak adalah menyebarkan brosur, profil, prestasi, kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dalam bidang-bidang yang dapat mengembangkan moral anak. Lembaga pendidikan dan orangtua hendaknya bekerjasama dalam menyediakan fasilitas yang diperlukan demi menunjang pendidikan moral anak secara formal dan informal.[36]
Orangtua sebagai pendidik moral anak yang utama dan pertama hendaknya bekerjasama dengan sekolah sebagai pengembang moral anak secara formal. Bentuk kerjasama itu misalnya adanya informasi timbal-balik antara guru dan orangtua dalam hal tingkah laku, sopan santun, dan perkembangan intelektual anak.[37]

5.3 Gerakan/Jaringan
Guru dan orangtua tentu pernah mengalami atau pun mengamati anak didiknya berperilaku amoral. Perilaku amoral itu terjadi karena kurangnya perhatian, bimbingan, dan kasih saying dari bertanggungjawab dan berperan dalam pendidikan moral tersebut.
Gerakan pendidikan moral harus berkesinambungan antara keluaraga, sekolah dan Gereja. Gerakan itu dibentuk dan dilaksanakan pada ketiga lembaga ini. Keluarga dapat membentuk gerakan intern mengenai moral. Misalnya membangun sikap terbuka di antara anggota keluarga sehingga anak didik tidak tertutup terhadap orangtua jika ada pertanyaan mengenai moralitas yang tidak ia ketahui terutama mengenai ada atau kebiasaan di dalm keluarga.
Gerakan dari pihak sekolah dapat dilakukan dengan membentuk kelompok yang bergerak dalam pendidikan moral di luar kegiatan sekolah. Misalnya membentuk kelompok aktif dalam kegiatan pengembangan moral yang terjun langsung ke tengah masyarakat. Gerakan itu berbentuk pelayanan terhadap masyarakat lewat kegiatan gotong royong.
Dari pihak Gereja dapat membentuk kelompok remaja yang aktif dalam pertemuan-pertemuan yang membahas moral. Kegiatan atau gerakan ini dikontrol oleh pihak Gereja. Selain itu, dapat juga dilakukan katekese anak yang membahas moralitas oleh pihak gereja. Sejatinya yang paling utama adalah gerakan nyata dari ketiga lembaga ini yakni lewat perbuatan. 


VI.     Penutup
Pendidikan merupakan salah satu hal utama dalam pengembangan diri. Dalam pendidikan manusia dapat memperoleh banyak hal yang dapat mengembangkan kepribadian manusia secara intelektual dan secara moral. Pendidikan moral sangat penting bagi anak demi perkembangan kepribadiannya. Dalam pendidikan moral ini seorang anak memerlukan pendampingan secara kontinu baik dari orangtua sebagai penanggungjawab utama maupun dari lembaga pendidikan formal yang ia terima.
            Emile Durkheim memberikan beberapa solusi yang baik mengenai persoalan moral bagi para pendidik maupun bagi peserta didik. Pendidikan moral di sekolah tidak hanya mencerdaskan peserta didik secara teoritis melainkan harus berkembang secara moral. Karena itu, Durkheim memberikan solusi bagi pendidik untuk mengembangkan unsur-unsur moralitas pada anak yakni semangat disiplin, keterikatan pada kelompok sosial dan otonomi penentuan nasib sendiri. Penghayatan moral yang baik akan membuat seorang individu mampu untuk hidup dalam kolegialitas masyarakat dengan lebih baik.
            Gereja juga tidak lepas tangan dalam pengembangan moral manusia. Melalui sekolah katolik, gereja menuntun peserta didik pada pemahaman moral yang benar. Oleh sebab itu, setiap sekolah katolik harus melihat ini karena gereja telah mempercayakan pembinaan itu kepada sekolah-sekolah katolik. Memang sudah ada perhatian akan hal ini tetapi belum sempurna. Inilah yang harus dikembangkan lagi dari pihak sekolah katolik dan bekerjasama dengan sekolah yang dikelola oleh pemerintah dan pihak suasta lain.
           










[1] Emile Durkheim seorang tokoh sosiolog sangat memusatkan perhatiannya pada sifat sistem sosial dan hubungan dengan sistem sosial dengan kepribadian seorang individu. Baginya, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan khusus untuk menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. [Lihat Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan (judul asli: Moral Education), diterjemahkan oleh Lukas Ginting (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. xiii.]
[2] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat (judul asli: Sociology and Philosophy), diterjemahkan oleh Soedjono Dirdjoworo (Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 2-3.
[3] http://varfin.wordpress.com/2009/02/02/pentingnya-pendidikan-moral/
[4] http://varfin.wordpress.com/2009/02/02/pentingnya-pendidikan-moral/
[5] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 2-3.
[6] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 4.
[7] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 4-5.
[8] Soerjono Soekanto, Emile Durkheim: Aturan-Aturan Metode Sosiologis (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 86.
[9] Soerjono Soekanto, Emile Durkheim …, hlm. 87.
[10] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 10.
[11] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 6.
[12] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar ..., 8.
[13] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 6.
[14] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 11.
[15] Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 12-13.
[16] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 22.
[17] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 23.
[18] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 24.
[19] W. Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan Dalam Teori dan Praktek (Bandung: Komadja Karya, 1988), hlm. 19
[20] W. Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan …, hlm. 20.
[21] W. Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan
[22] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 25.
[23] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 93-94..

[24] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 126-127.
[25] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 144.
[26] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 162-164.
[27] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 173-174.


[28] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 181.
[29] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 161.

[30] Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 162-164.
[31] Daniel Y. Aka, “Menghidupkan dan Menghayati Lima Nilai Hidup”, dalam Educare, VII/IV/ Oktober, 2007, hlm. 22.

[32] Daniel Y. Aka, “Menghidupkan dan Menghayati Lima Nilai Hidup”…, hlm. 21 

[33]Daniel Y. Aka, “Menghidupkan dan Menghayati Lima Nilai Hidup”…, hlm. 22.

[34]  F.X. Gus Setyono, “Menyeimbangkan Nilai-Nilai Humaniora”, dalam Educare, IX/VI/ Desember, 2009, hlm. 39.
[35] Konsili Vatikan II, “Pernyataan tentang Pendidikan Kristen” (Gravissimum Educationis), no. 23, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993).
[36]  Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Upaya-upaya  Komunikasi Sosial” (IM), no. 4, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993).

[37] Charles E. Curran, Moral Theology:Challenge for The Future (New York: Paulist Press, 1990), hlm. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar