PERSOALAN PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH
Suatu Analisis Pendidikan Moral Emile Durkheim
dan
Tinjauan Moral Kristiani
I.
Pendahuluan
Latar Belakang Pemilihan Tema
Masalah moral merupakan salah satu problem yang
sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik,
pemuka masyarakat dan para orang tua. Tidak henti-hentinya kita mendengar
berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, seperti
yang terjadi di beberapa daerah yang hampir setiap minggu diberitakan di berbagai
media, baik media cetak maupun elektronik. Bagi warga Ibukota bukan suatu hal
yang aneh apabila mendengar atau melihat anak-anak sekolah melakukan tawuran
(perkelahian antar pelajar) yang tidak sedikit menimbulkan sejumlah korban.
Diperlukan waktu yang panjang dan upaya pendidikan yang sungguh-sungguh untuk
mengatasi kondisi ini. Karena itu, pembahasan ini akan terpusat pada konsep
pendidikan yang dikemukakan oleh Emile Durkheim.
Emile
Durkheim[1]
hidup di masa Perancis yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan moral.
Durkheim berusaha mencari suatu terobosan agar dapat menyatukan masyarakat
Perancis melalui suatu pendidikan moral yang di ajarkan di setiap institusi
pendidikan. Ia mengatakan, dengan adanya suatu pendidikan moral maka masyarakat
di Perancis dapat memadu kehidupan sosial mereka. Inilah yang menjadi kunci
mengapa Durkheim sangat konservatif dan mengutamakan adanya suatu keteraturan
dalam masyarakat melalui solidaritas atau integrasi. Untuk dapat mempelajari
pendidikan moral, maka Durkheim menggunakan metode ilmiah sama seperti
mempelajari ilmu alam. Walaupun hidup di jaman di mana sosialisme Perancis
begitu kuat pengaruhnya, Durkheim tidak sepenuhnya setuju dengan konsep ini.
Menurut dia, Sosialisme dapat membuat moralitas dalam suatu masyarakat menjadi
tinggi namun Durkheim tidak setuju ketika konteks Sosialisme dikaitkan dengan
suatu kekerasan. Dengan adanya tingkat moralitas yang tinggi, maka cita-cita
Durkheim untuk membentuk suatu masyarakat yang damai, teratur, dan bebas konflik
akan tercapai dengan sendirinya.[2]
indah |
Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Pendidikan
merupakan segi yang penting dalam membentuk manusia cerdas dan mempunyai
wawasan luas mengenai dunia. Oleh sebab itru setiap negara berusaha untuk
mengembangkan sistem pendidikan di negaranya masing-masing. Sistem pendidikan
di negara-negara maju dan berkembang lebih mesusatkan perhatian pada pendidikan
intelektual dan keahlian. Hal ini menyebabkan terjadi suatu ketimpangan antara
intelektual dan keahlian dengan moral dalam diri peserta didik.
Ketimpangan
ini sudah dilihat oleh Emile Durkheim pada zaman di mana ia hidup. Rupanya
masalah itu semakin berkembang hingga zaman sekarang. Akibatnya banyak manusia
yang cerdah dalam bidang ilmu pengetahuan dan keahlian tetapi kosong dalam
bidang moral.
Oleh sebab
itu, Emile Durkheim menunjukkan sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan ini
dengan mengajarkan pendidikan moral di sekolah. Dengan pendidikan semacam ini
tentu saja peserta didik memahami dan terbiasa dengan pendidikan sehingga
mereka dapat bertindak sesuai dengan pendidikan yang ia dapatkan itu. Inilah
yang menjadi pokok pembahasan kami dalam paper ini dan hanya terbatas pada
pendidikan moral di sekolah menurut Emile Durkhein dan analisis moral serta
kebijakan pastoral dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Tujuan Penulisan
Paper ini diajukan pertama untuk
memenuhi tugas, UTS dan UAS mata kuliah Moral Sosial. Kedua untuk
memaparkan pendidikan terutama mengenai
pendidikan moral di seturut pandangan Emile Durkheim dan aplikasinya dalam
teologi moral serta tindakan pastoral yang tepat untuk sistem pendidikan di
Indonesia. Ketiga untuk membantu orang tua dan para pendidik memperoleh suatu
pemahaman dan penjelasan yang berkaitan dengan pendidikan moral. Keempat
sebagai sutu refleksi bagi para penulis akan pentingnya pendidikan moral
seturut pendapat Emile Durkhein dan moral kristiani.
II.
Problem
Sosial
Fenomena yang
terjadi di negara ini memunculkan berbagai macam pertanyaan. Mengapa banyak
sekali masyarakat Indonesia
yang bertingkah laku dan berkelakuan seperti hewan? Padahal tidak jarang dan
bahkan banyak para pelaku itu mempunyai pendidikan yang tinggi. Kalau dilihat
dari faktor pendidikan, seharusnya seseorang yang mempunyai pendidikan tidak
akan bertindak yang bukan-bukan dan bisa menjadi contoh bagi orang lain
disekitarnya yang nota bene kurang dalam hal pendidikan. Tapi mengapa kelakuan
atau akhlak mereka tidak lebih atau bahkan jauh berada dibawah dari orang yang
tidak berpendidikan?.[3]
Pendidikan di
Indonesia pada saat ini cenderung lebih mementingkan aspek akademis tanpa
menghiraukan akhlak dan moral para peserta didik. Hal ini bisa kita lihat di
sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Sebagai contoh, seseorang murid
SMU yang nakal dan suka dengan free seks dapat lulus dari SMU dan meneruskan
keperguruan tinggi hanya karena nilainya mencukupi standar kelulusan yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah. Coba kita bayangkan apa yang akan terjadi apabila
Negara Indonesia
ini dipimpin oleh orang yang hanya mempunyai nilai akademis yang tinggi tapi
tidak bermoral. Apa yang akan terjadi dengan negara ini? Pendidikan Indonesia
menganut atau lebih condong pada sistem pendidikan liberal yang mengesampingkan
pendidikan moral dan hanya mementingkan pendidikan akademis. Kapan Indonesia
bisa maju kalau pendidikan moral di semua sekolah ditiadakan? Apakah Indonesia
bisa maju kalau hanya mengandalkan pada kepintaran akademis?.[4]
III.
Pendidikan
Moral menurut Emile Durkheim
Pengertian
dan hakikat pendidikan moral
Pemikiran pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah
berorientasi pada moralitas. Menurut Durkheim pendidikan adalah upaya yang
terus menerus untuk mengisi jiwa anak dengan cara atau jalan melihat, merasa
dan bertindak, dimana upaya itu diterima dan dicapai oleh si anak tidak secara
spontan tetapi bersifat diarahkan. Sejak lahir seorang bayi dilatih (dipaksa)
untuk makan, minum dan tidur pada waktu yang telah ditentukan, disisi lain ia
juga dilatih untuk tenang, bersih dan menurut apa yang diinginkan oleh orang
tuanya. Kemudian ia bertambah besar, kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan
paksaan saja karena ia tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat luas,
oleh karena itu dia harus dibimbing dan dibina untuk memikirkan orang lain,
memahami lingkungan, menghormati adat-istiadat, serta merasakan pentingnya
suatu karya. Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk
mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin
kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan seorang individu
sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan tersembunyi
pada individu yang mengganggu penampakannya, namun pendidikan haruslah
menciptakan makhluk baru.[5]
Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya
ajaran normatif yang menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta
yang diwujudkan, terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya
menyangkut sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang
didasarkan pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada
di luar diri pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang
moralitas semestinya juga bersifat rasional dan sekuler. Seperti telah
disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya sedang mengalami prosestransformasi.
Dengan kecenderungan visi sejarah yang bersifat evolusionistis ia merasakan
pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak memadai. Sistem tradisional,
katanya ternyata hanya bisa bertahan karena keajaiban ekuilibrium
(keseimbangan) dan kekuatan kebiasaan. Padahal sesungguhnya tradisi itu telah
lama tidak lagi berpijak pada dasar yang kuat.[6]
Disaat perkembangan ilmu pengetahuan yang makin deras
dan disaat homogenitas alam telah terpecah-pecah maka dasar moral tidak bisa
hanya dilihat sebagai apa yang disebut imanuel kant “kategori imperatif “
–suatu dorongan dari dalam diri untuk berbuat etis. Bukan dasar yang internal
itu yang biasa dipakai sebagai ukuran melainkan sistem perbuatan yangt ampaknya
obyektif. Bagi Durkheim kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah.
Moralitas menurutnya haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang
kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap
sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan atau kaidah-kaidah
dalam bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.[7]
Moral menurut Emile Durkheim juga berhubungan dengan
bagian yang fungsional dari masyarakat. Moral terlibat pula dalam proses
historis yang bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan struktur sosial.
Lebih lanjut moral menurut Emile Durkheim meliputi konsistensi, keteraturan
tingkah laku dan bisa juga dalam pengertian wewenang. Pada definisi keteraturan
tingkah laku dan wewenang sebenarnya merupakan dua aspek dari satu hal yaitu
disiplin. Dengan kata lain bahwa disiplin dibentuk dari keteraturan tingkah
laku dan wewenang.[8]
Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi
kepentingan orang lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang
impersonal, sebab yang menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada
diluar diri seseorang, atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain
yang disebut masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan
dirinya belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan
tersebut tidak bersifat sosial.[9]
Dengan demikian menurut Emile Durkheim pendidikan
moral merupakan suatu aktifitas yang harus dilatih dan mungkin dipaksakan bagi
setiap orang sejak dini untuk menjadikan anak yang baik dan
mempunyai tingkat kesadaran moralitas yang tinggi dalam mewujudkan
tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat sosial pendidikan moral haruslah
bersifat rasional. Durkheim mengacu pada pendapat –pendapat kaum rasionalis
yang menyatakan bahwa tidak ada realita apapun yang membenarkan seseorang
membuat pertimbangan secara mendasar diluar lingkup penalaran manusia.[10]
3.2 Tujuan Pendidikan Moral
Emile Durkheim
bagi banyak orang disebut sebagai juru bicara paradigmatik dari mereka yang
mengembangkan konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral.
Sebutan semacam itu agaknya cukup beralasan kalau kita kaitkan dengan
pelbagai pandangan Durkheim yang antara lain melihat bahwa tujuan-tujuan moral
adalah segala sesuatu yang berobyekkan pada masyarakat, ranah moral akan
berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas dimulai dari keterlibatan
seseorang pada masyarakat dan bukan tindakan–tindakan yang merefleksikan
kepentingan individu semata.[11]
Dalam teori
sosiologi menurut Emile Dukheim, proses sosialisasi harus dilihat sebagai faktor
yang hakiki dari pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan
watak. Selain itu teori Emile
Durkheim menyatakan bahwa: Manusia baru menjadi manusia, sebab dia
hidup di masyarakat. Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena dia hidup
dimasyarakat.Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki tujuan, tugas dan
akar.Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.
Moralitas sosial tidak selalu sama dengan moralitas konvensional.[12]
Dari
pernyataan ini memunculkan pandangan bahwa Emil Durkheim lebih melihat bahwa
makhluk individual adalah makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak
akan tercipta dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat. Durkheim
mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa direduksi hanya sebagai kumpulan
individu-individu semata, melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru yang sui
generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri khas
anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang tentunya berbeda dengan
individualitas pembentuknya. Dalil yang digunakan Durkheim adalah bahwa
kombinasi elemen-elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru yang
sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing elemen pembentuknya. Jadi
kombinasi tersebut menjadi sesuatu yang justru melalui
penggabungan-penggabungan pembentuknya. Dalam proses penggabungan terjadi
kontak dan interaksi antara masing-masing individu yang melibatkan tindakan,
pikiran, maupun perasaan sehingga melahirkan kesadaran kolektif. Dengan
demikian masyarakat menjelma menjadi makhluk moral yang mempunyai ide-ide,
tindakan, dan perasaan yang khas yang tidak pernah menjadi ciri individu bila
hidup terpisah-pisah.[13]
Disamping itu
jika masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga harus dipandang sebagai
sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan tidak hanya karena
berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan masyarakat setiap orang
harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya mungkin terealisir bila manusia
rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab dalam kenyataannya mengaitkan
diri dan makhluk lain selalu berarti sampai tingkat bergabung atau menyatu
bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk tersebut apabila keterikatan
memang menuntut pengorbanan.[14]
Namun
bagaimana mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam kesadaran individu,
jika masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan berbeda dengan individu.
Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan karena kepentingan
masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara individu dan masyarakat.
Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan pada posisi resiprokal
dan kedua makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi antagonis.
Sejalan dengan itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya
mengidentifikasi hakekat dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak
dapat sepenuhnya merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia
telah melibatkan diri dalam masyarakat.
Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar. Demikian pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku manusia. Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha- usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi. Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.[15]
Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar. Demikian pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku manusia. Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha- usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi. Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.[15]
3.3
Sumber pendidikan
moral
Gagasan Emile
Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada pendidikan moral yang
rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama didalamnya . Moralitas bukan
sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan suatu sistem perilaku
yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama.
Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa unsur sebagaimana telah
dikemukakan oleh Durkheim. Unsur-unsur tersebut adalah semangat disiplin,
ikatan pada kelompok dan otonomi Durkheim menolak sumber moral adalah
agama. Hal ini disebabkan analisa Durkheim bahwa kini peranan Tuhan hanya
menjadi pengawal. Sistem moral tidak diciptakan untuk kepentingan-Nya melainkan
demi kepentingan manusia. Tuhan hanya bercampur tangan dalam membuat moral agar
lebih efektif. Sejak saat itulah kewajiban manusia sebagian besar menjadi bebas
dari gagasan religius sehingga ia tidak lagi merupakan landasan pijak bagi
perkembangan moral.[16]
Tahapan
perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada awalnya tidak dibangun
sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis manapun. Namun demikian
pertalian yang sejak semula memadukan dan mengikat kedua sistem tersebut
semakin lama semakin longgar. Maka usaha melepaskan ikatan tersebut secara
definitif berarti mengakui arus sejarah. Persis pada titik inilah proses
sekularisasi moral merupakan kenyataan yang mau tidak mau harus diterima.
Durkheim menyadari bahwa upaya menjadikan proses yang dimaksud tidak akan hanya
cukup dengan mengajarkan moralitas warisan leluhur seraya menghindarkan segala
kebutuhan untuk menemukan kembali jalan menuju gagasan religius. Lebih dari itu
diperlukan transformasi menyeluruh.[17]
Mengapa
transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini disebabkan karena sistem
kepercayaan dan moralitas telah menjadi satu dalam sejarah selama berabad-abad.
Kedua sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum hubungan keduanya disa
dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa diwujudkan. Baik kepercayaan
maupun moral haruslah ditopang pada landasan yang sama yaitu Tuhan. Dia adalah
pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai moral tertinggi.[18]
Inilah
sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama dan moral sama-sama memiliki
unsur kewajiban. Orang bahkan dengan mudah melihat bahwa beberapa elemen dari kedua
sistem tersebut saling mendekati satu sama lain, sehingga membentuk hanya
sebuah sistem. Gagasan moral tertentu menyatu dengan gagasan religius
sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Oleh karena itu apabila
dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang semata-mata berusaha mencabut apa
saja yang dianggap bersifat moral tanpa mencari unsur penggantinya, hal ini
merupakan yang bersangkutan sekaligus mencabut semua elemen yang sebetulnya
adalah moral itu sendiri. Upaya mencari jalan keluar metodis dari masalah ini
sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat dilakukan dengan mencari tepat pada
jantung konsepsi religius, hakekat realitas moral yang terkubur dan tersembunyi
di dalamnya.[19]
Jadi
seseorang harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang sama harus
menemukan unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan mengungkapkannya dalam
bahasa rasional. Dalam hal ini kecenderungan Durkheim adalah menggantinya
dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran
kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral
sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu.
Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti sebab ia merupakan
makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang dapat
disentuh melalui penginderaan dan rasional sementara Tuhan tidak dapat
dijangkau oleh ilmu pengetahuan.[20]
Demikianlah
gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas sekuler yang ingin
mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak agama sebagai titik
pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus dijadikan alasan
untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas tidak mungkin
digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat mistis dan
Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak persepsi kaum
empiris utilitarian yang disatu pihak menawarkan gagasan rasional tentang
moralitas namun menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan mereduksi
ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.[21]
Terlepas dari
itu semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan prinsip-prinsip moral
membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda. dan sebagian lainnya,
memberikan tekanan pada satu elemen dan tidak pada elemen yang lain. Hal itulah
yang menjadi alasan mengapa Durkheim acap kali dilukiskan sebagai sosok yang
begitu perhatian pada norma-norma moral dan tindakan-tindakan yang bersifat
wajib, lebih lagi kalau melihat kecenderungannya terakhir yang begitu besar
perhatiannya pada ide-ide moral.
Prinsip-prinsip
moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk dan asas kehidupan moaral
yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik melalui proses pendidikan
moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral adalah jantung bagi
pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus diajarkan sedemikian rupa
sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk melaksanakan dengan
mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-pertimbangannya.[22]
3.4
Metode
pendidikan moral
Bagaimana membangun
unsur-unsur moralitas pada anak.? Pertama, dalam mengembangkan unsur-unsur
moralitas pada anak adalah, dengan metode pembiasaan (membangun disiplin).
Untuk mebangun disiplin ada dua unsur yang terkait di dalamnya yaitu keinginan
adanya keteraturan dan keinginan tidak berlebihan serta penguasaan diri. Pada
usia dini anak harus dapat dididik untuk membiasakannya dengan
keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara untuk merangsang kemauan
anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih menaati kaidah peraturan,
maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang patut dihormati yaitu otoritas
moral yang ditanamkan pada anak.[23]
Kedua, metode
hukuman dan penghargaan. Hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah
peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga
mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat
terhadap peraturan. Memang dengan adanya hukuman tidak menjamin segala sesuatu
berjalan baik, namun hukuman itu diharapkan sekurang-kurangnya dapat mencegah
terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dalam
mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Menghukum
bukan berarti membuat orang lain menderita secara jasmani dan ruhani, karena
hal ini bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan yaitu menghargai
martabat manusia. Hukuman hanya simbol yang gamblang dari keadaan
batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan diberikan dalam dosis
terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat bijaksana, karena pengaruhnya
akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara bijaksana.[24]
Ketiga,
adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam menumbuhkan solidaritas pada anak.
Untuk membentuk unsur moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial maka Emile
Durkheim mengambil sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk selalu merasa
dirinya berada di lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai solidaritas
tinggi terhadap orang lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia lakukannya..
Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anakmenghargai pendapat orang lain.[25]
Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anakmenghargai pendapat orang lain.[25]
Keempat,
adalah metode keteladanan. Dalam pendidikan moral Emile Durkheim, keteladanan
yang ditunjukkan oleh seorang pendidik merupakan faktor penting yang
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pendidikan moral. Menurutnya pendidik
adalah agen moral masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam pembentukan
moral dan pengalihan budaya. Pendekatan sosialisasi moral dalam pendidikan
Emile Durkheim menyatakan bahwa murid atau siswa dapat mempelajari nilai-nilai
moral dan perilaku apabila pendidik mampu mengajarkan secara aktif nilai-nilai
moral tersebut. Emile Durkheim percaya tentang proses pengajaran moral dapat
difasilitasi dengan cara menjelaskan tentang bagaimana para pengajar mampu
mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan perilaku
personalnya. Tentang penggunaan metode pendidikan moral banyak tokoh yang
memandang bahwa metode pembiasaan dan keteladanan adalah hal yang sangat
penting dalam rangka membentuk anak didik mempunyai moralitas yang baik. Metode
lain ialah memberikan pendidikan moral yang tidak terlepas dari keteladanan
para guru, selain itu juga metode yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan
moral baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat
mensugest si anak didik. Disamping itu, untuk membentuk moral yang baik ada
beberapa metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap apa yang
dianggap baik, metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi dalam
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, setelah anak didik diberi
pelajaran.[26]
3.5
Materi
pendidikan moral
Materi
pendidikan moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi yang harus
dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini
merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden
curiculum). Jadi setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada
anak didik, baik dari segi tingkah laku, sikap, pengetahuan saling menghormati
dan lain sebagainya. Di dalam sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk
pembentukan moral tidaklah terletak pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi
pada pengajar.[27]
Selanjutnya
dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap
yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan
salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan
sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisikan secara efektif
untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan perilaku sosialnya melalui
ekspose bebas.
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya dengan situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.[28]
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya dengan situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.[28]
3.6
Peran dan
syarat pendidik moral
Masalah
pendidik moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem
pemikiran Durkheim. Hal ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya
tentang filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim belajar
adalah satu proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa
sehingga dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi
moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi
berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan
mempengaruhinya kecuali masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai
yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah menciptakan
suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.[29]
Posisi guru
yang begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya yang demikian besar,
sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara optimal. Namun untuk lebih
efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus memiliki beberapa kualitas pokok
Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut dengan otoritas moral. Guru pendidikan
moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi contoh bagi anak didik baik
dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang idola anak didiknya maupun
pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan tertib dan efisiensi. Oleh karena
itu guru harus dibekali dengan otoritas moral, karena tanpa otoritas seorang
guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat mengajar atau mengembangkan
peserta didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan bagi kehidupan moral. Kualitas
pokok yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar bukanlah sekedar
mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan tetapi mengajar
lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar, kata Durkheim
perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik. Demikianlah pandangan
Emile Durkheim mengenai pendidikan moral, meliputi konsep dan hakekat
pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidiakn moral, materi
pendidikan moral, metode pendidikan moral, serta peran dan syarat pendidik
moral.[30]
IV.
Analisis – Refleksi Teologis Moral
4.1 Tanggungjawab[31]
Dalam
komunitas sekolah, kantor dan instansi-instansi lainnya dengan pembagian tugas
yang berbeda-beda dibutuhkan tanggung jawab terhadap tugasnya. Nilai tanggung
jawab menjadi tanda khas kedewasaan seseorang. Nilai tanggung jawab menjadi
penting dalam sekolah, rumah tangga dan komunitas di mana pun seseorang berada.
Orang yang bekerja dengan tanggung jawab tidak akan menghindar bila berhadapan
dnegan kesulitan dan kekurangan komunitas di mana ia berada. Tanggung jawab
mengandung muatan perjuangan dan kerja keras. Hal ini telah ditunujukkan oleh
Yesus Kristus ketika Ia berada di dunia ini. Rasa tanggung jawab yang ada dalam
diri-Nya membuat Dia berjuang dengan kerja keras dalam menuntun bangsa-Nya
kepada keselamatan.
4.2 Kejujuran[32]
Kejujuran
dituntut supaya orang hidup dalam kebenaran. Apalah artinya hidup ini kalau
tidak ada kejujuran dan kebenaran! Orang yang tidak jujur bakal tidak akan
dipercayai. Menjaga kepercayaan itulah perjuangan manusia menuju kesuksesan dan
kebahagiaan. Orang yang tidak lagi dipercayai oleh sesamanya ia dianggap
sebagai manusia yang tidak berguna. Kejujuran menjadi dasar untuk kebenaran dan
kepercayaan diri. “Barang siapa yang
setia dan jujur dalam perkara-perkara yang kecil ia setia juga dalam
perkara-perkara besar” (Bdk. Lukas 16: 10). Artinya ia akan dipercaya
mengurus pekerjaan lebih besar, investasi kepercayaan orang kepadanya
meningkat. Hidupnya menjadi lebih berarti.
Tanpa
penanaman nilai kejujuran di sekolah, banyak anak yang menyelesaikan ujian
dengan menyontek. Anak yang lulus ujian dengan cara menyontek adalah sebuah
penipuan. Penipuan yang dimulai di kelas sejak kecil, bakal menjadi sikap dasar
untuk karyanya selanjutnya dan dimana saja dia berada. Penipuan dan sikap tidak
jujur yang dimulai di sekolah dan di rumah sejak kecil menghantar seseorang
pada tindakan korupsi. Tindakan korup merupakan salah satu penyakit sosial di
negara kita ini mulai dari pusat sampai kedesa-desa. Karena itu, tidakan korup
menghambat lajunya pembangunan bangsa. Kita perlu menanamkan nilai kejujuran
dalam hidup.
4.3 Kedisiplinan[33]
Setiap kegiatan
membutuhkan perencanaan dan pengalokasian waktu yang jelas. Proses belajar
mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh pengaturan jadwal kegiatan dengan
porsi waktu secara pasti. Dengan kepastian jadwal, maka pendidik, pegawai dan
peserta didik akan datang dan pulang tepat pada waktunya. Setiap orang yang mau
menjadi murid yang baik harus disiplin. Demikian pula dengan para pendidik dan
para orangtua yang sehari-hari berurusan dengan pelayanan para murid, perlu
memiliki semangat disiplin.
Kedisplinan
bukan hanya dalam hal ketepatan waktu tetapi terutama penataan diri dan
kepribadian. Dalam hal ini kedisiplinan berarti kebersiahn dan kerapian dalam menata
lingkungan hidup dan lingkungan kerja.
Kebersihan dan kerapian juga dalam hal bertutur bahasa, tidak menggunakan
kata-kata kotor dan caci maki.
Dengan
kedisiplinan orang akan terbiasa dengan berbicara dengan baik dan benar dan
dengan bahasa yang baik dan benar pula. Kedisiplinan membantu orang untuk
bersikap ramah, sopan santun, berperilaku baik terhadap lingkungan dan sesama.
Dia akan menghargai kehidupan, pertumbuhan dan kesegaran bersama semua orang
dan dengan segala makhluk.
4.4
Kebebasan
Setiap individu
mempunyai kebebasan yang berasal dari Allah. Oleh sebab itu manusia tidak boleh
membelenggu talenta, kemampuan dan potensi manusia lain. Setiap orang berhak
mengeksplorasi diri masing-masing dengan cara pengembangan diri yang sesuai
dengan apa yang cocok bagi mereka. Sebab Tuhan telah memberi kemampuan bagi
mereka sehingga secara bebas dan bertanggungjawab mengembangkan diri
masing-masing sesuai dengan suara hati mereka.
Peserta didik
perlu dipacu agar memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengemukakan pendapat
dan gagasan mereka masing-masing yang merupakan energi dari kebebasan. Kegiatan
pendidikan yang berhasil menanamkan kesadaran tentang kebebasan berarti sekolah
berhasil membangun pondasi mental pantang menyerah terhadap keadaan atau membelenggu
gerak kehidupan peserta didik. [34]
V . Tindakan
Pastoral
5.1
Program/Aksi
Pastoral
Pendidikan moral di sekolah adalah tugas utama lembaga pendidikan swasta
dan pemerintah sebab pengelolaan sekolah dipegang oleh mereka. Kalau kitta
melihat kedua lembaga pendidikan ini, boleh dikatakan bahwa lebih mudah
membentuk program di sekolah swasta daripada di sekolah yang dikelola oleh
pemerintah kecuali jika program itu berasal dari pemerintah.
Salah satu lembaga swasta yang mengelola pendidikan ialah Katolik. Adapun
program dan aksi pastoral yang dapat dilakukan Gereja adalah; pertama,
membangun kesadaran moral guru. Guru sebagai pendidik utama dalam pendidikan
moral dalam bentuk formal memiliki peranan yang sangat penting dalam
pembentukan moral anak. Guru sebagai figur harus memiliki sikap moral yang baik
yang terpancar melalui sikap, tutur kata, dan cara hidupnya. Dengan demikian
guru sebagai figur moral tersebut, diharapkan dapat memberikan contoh atau
teladan moral kepada anak didiknya. Kedua,
sekolah menyajikan kurikulum pendidikan moral bagi siswa secara
berkesinambungan. Pendidikan moral yang baik itu tidak hanya terjadi
dilingkungan sekolah, tetapi terjadi juga di dalam rumah tangga. Sekolah juga
menyediakan fasilitas yang dapat menunjang pendidikan moral anak, seperti
mengadakan rekoleksi, retret, konseling dan kegiatan rohani lainya yang dapat
mengembangkan pendidikan moral anak. Ketiga, orangtua sebagai penanggungjawab
pendidikan moral, memiliki peranan yang tidak dapat digantikan. Hal itu disebabkan
karena peranan orangtua merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses
pendidikan moral. Orangtua merupakan kunci sukses pembentukan moral anak. Anak
akan melakukan dan bersikap berdasarkan apa yang dapat dilihat dan didengar
dari orang tuanya.[35]
5.2
Sosialisai
Kesaksian hidup merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat khususnya dalam pengembangan pendidikan moral anak. Pendidikan
moral yang diajarkan oleh para pendidik di sekolah, dapat diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat melalui kesaksian hidup. Kesaksian hidup merupakan
suatu sosialisali yang urgen dalam kehidupan sosial. Kunjungan keluarga siswa
juga merupakan salah satu sosialisasi dalam pengembangan moral anak.
Selanjutnya bentuk sosialisasi dari sekolah yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan moral anak adalah menyebarkan brosur, profil, prestasi, kegiatan
yang dilakukan oleh sekolah dalam bidang-bidang yang dapat mengembangkan moral
anak. Lembaga pendidikan dan orangtua hendaknya bekerjasama dalam menyediakan fasilitas
yang diperlukan demi menunjang pendidikan moral anak secara formal dan
informal.[36]
Orangtua sebagai pendidik moral anak yang utama dan pertama hendaknya
bekerjasama dengan sekolah sebagai pengembang moral anak secara formal. Bentuk
kerjasama itu misalnya adanya informasi timbal-balik antara guru dan orangtua
dalam hal tingkah laku, sopan santun, dan perkembangan intelektual anak.[37]
5.3 Gerakan/Jaringan
Guru dan orangtua tentu pernah mengalami atau pun mengamati anak didiknya
berperilaku amoral. Perilaku amoral itu terjadi karena kurangnya perhatian,
bimbingan, dan kasih saying dari bertanggungjawab dan berperan dalam pendidikan
moral tersebut.
Gerakan pendidikan moral harus berkesinambungan antara keluaraga, sekolah
dan Gereja. Gerakan itu dibentuk dan dilaksanakan pada ketiga lembaga ini.
Keluarga dapat membentuk gerakan intern mengenai moral. Misalnya membangun
sikap terbuka di antara anggota keluarga sehingga anak didik tidak tertutup
terhadap orangtua jika ada pertanyaan mengenai moralitas yang tidak ia ketahui
terutama mengenai ada atau kebiasaan di dalm keluarga.
Gerakan dari pihak sekolah dapat dilakukan dengan membentuk kelompok yang
bergerak dalam pendidikan moral di luar kegiatan sekolah. Misalnya membentuk
kelompok aktif dalam kegiatan pengembangan moral yang terjun langsung ke tengah
masyarakat. Gerakan itu berbentuk pelayanan terhadap masyarakat lewat kegiatan
gotong royong.
Dari pihak Gereja dapat membentuk kelompok remaja yang aktif dalam
pertemuan-pertemuan yang membahas moral. Kegiatan atau gerakan ini dikontrol
oleh pihak Gereja. Selain itu, dapat juga dilakukan katekese anak yang membahas
moralitas oleh pihak gereja. Sejatinya yang paling utama adalah gerakan nyata
dari ketiga lembaga ini yakni lewat perbuatan.
VI. Penutup
Pendidikan merupakan salah satu hal utama dalam pengembangan diri. Dalam
pendidikan manusia dapat memperoleh banyak hal yang dapat mengembangkan
kepribadian manusia secara intelektual dan secara moral. Pendidikan moral
sangat penting bagi anak demi perkembangan kepribadiannya. Dalam pendidikan
moral ini seorang anak memerlukan pendampingan secara kontinu baik dari
orangtua sebagai penanggungjawab utama maupun dari lembaga pendidikan formal
yang ia terima.
Emile Durkheim memberikan beberapa
solusi yang baik mengenai persoalan moral bagi para pendidik maupun bagi
peserta didik. Pendidikan moral di sekolah tidak hanya mencerdaskan peserta
didik secara teoritis melainkan harus berkembang secara moral. Karena itu,
Durkheim memberikan solusi bagi pendidik untuk mengembangkan unsur-unsur
moralitas pada anak yakni semangat disiplin, keterikatan pada kelompok sosial
dan otonomi penentuan nasib sendiri. Penghayatan moral yang baik akan membuat
seorang individu mampu untuk hidup dalam kolegialitas masyarakat dengan lebih baik.
Gereja juga tidak lepas tangan dalam
pengembangan moral manusia. Melalui sekolah katolik, gereja menuntun peserta
didik pada pemahaman moral yang benar. Oleh sebab itu, setiap sekolah katolik
harus melihat ini karena gereja telah mempercayakan pembinaan itu kepada
sekolah-sekolah katolik. Memang sudah ada perhatian akan hal ini tetapi belum
sempurna. Inilah yang harus dikembangkan lagi dari pihak sekolah katolik dan
bekerjasama dengan sekolah yang dikelola oleh pemerintah dan pihak suasta lain.
[1] Emile
Durkheim seorang tokoh sosiolog sangat memusatkan perhatiannya pada sifat
sistem sosial dan hubungan dengan sistem sosial dengan kepribadian seorang
individu. Baginya, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan khusus
untuk menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. [Lihat Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan
Aplikasi Sosiologi Pendidikan (judul
asli: Moral Education), diterjemahkan
oleh Lukas Ginting (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. xiii.]
[2]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat (judul asli: Sociology and Philosophy),
diterjemahkan oleh Soedjono Dirdjoworo (Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 2-3.
[3] http://varfin.wordpress.com/2009/02/02/pentingnya-pendidikan-moral/
[4]
http://varfin.wordpress.com/2009/02/02/pentingnya-pendidikan-moral/
[5]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 2-3.
[6]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 4.
[7]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 4-5.
[8]
Soerjono Soekanto, Emile Durkheim:
Aturan-Aturan Metode Sosiologis (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 86.
[9]
Soerjono Soekanto, Emile Durkheim …,
hlm. 87.
[10]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 10.
[11] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim
dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986),
hlm. 6.
[12] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim
dan Pengantar ..., 8.
[13]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 6.
[14]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 11.
[15]
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat …, hlm. 12-13.
[16]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 22.
[17]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 23.
[18]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 24.
[19] W. Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan
Dalam Teori dan Praktek (Bandung: Komadja Karya, 1988), hlm. 19
[20] W.
Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan …, hlm. 20.
[21] W.
Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan
[22]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 25.
[23]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 93-94..
[24]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 126-127.
[25]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 144.
[26]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 162-164.
[28]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 181.
[29]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 161.
[30]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral …, hlm. 162-164.
[31] Daniel
Y. Aka, “Menghidupkan dan Menghayati Lima
Nilai Hidup”, dalam Educare,
VII/IV/ Oktober, 2007, hlm. 22.
[32]
Daniel Y. Aka, “Menghidupkan dan
Menghayati Lima Nilai Hidup”…, hlm. 21
[33]Daniel
Y. Aka, “Menghidupkan dan Menghayati Lima
Nilai Hidup”…, hlm. 22.
[34] F.X. Gus Setyono, “Menyeimbangkan Nilai-Nilai Humaniora”, dalam Educare, IX/VI/ Desember, 2009, hlm. 39.
[35] Konsili
Vatikan II, “Pernyataan tentang Pendidikan Kristen” (Gravissimum Educationis),
no. 23, dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI-Obor, 1993).
[36] Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Upaya-upaya
Komunikasi Sosial” (IM),
no. 4, dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan
KWI-Obor, 1993).
[37]
Charles E. Curran, Moral
Theology:Challenge for The Future (New York: Paulist Press, 1990), hlm. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar