Entri Populer

Selasa, 15 November 2011

Uis Neno


TRADISI FUAH PAH SEBAGAI KEPERCAYAAN KEPADA WUJUD TERTINGGI
DALAM MASYARAKAT DAWAN – TIMOR

1. Latar Belakang

            Masyarakat  Dawan merupakan satu suku yang ada dalam masyarakat lain yang hidup di wilayah Nusantara khususnya di wilayah Timor. Mereka juga memiliki beberapa tradisi lisan. Tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat seringkali berkaitan dengan bahasa-bahasa ritual dan upacara formal yang berlaku dalam masyrakat tersebut. Masyarakat Dawan pada umumnya merupakan petani ladang kering. Kehidupan mereka memiliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian dengan keyakinan religius tradisional. Hal ini tampak dalam ritus Fua Pah[1]. Ritus ini menjadi salah satu hal yang sangat diyakini oleh masyarakat dawan dalam kehidupan mereka sebagai suatu peraturan hidup yang harus dijalankan oleh setiap masyarakat Dawan[2].
Ritus ini berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakatnya (mengenai Tuhan, roh, alam semesta, bumi, kerja). Ritus ini merupakan suatu penyembahan terhadap suatu kekuatan tertinggi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Maka melalui tulisan ini, penulis mau menggali makna yang terkandung dalam sistem kepercayaan ini.
2. Pola Hidup Masyarakat Dawan
            Pulau Timor bagian barat merupakan salah satu bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)  yang dihuni oleh beberapa  etnik, antara lain: Bunak, Tetun, Helong, Kemak dan Dawan, Sabu dan Rote. Suku Dawan merupakan kelompok suku terbesar yang mendiami daratan Timor Barat itu.[3] Suku  Dawan juga mendiami daerah yang ada di wilayah Kabupaten Kupang. Selain itu, orang Dawan juga mendiami seluruh wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Oekusi (wilayah Timor Leste). Umumnya masyarakat yang di daerah pulau Timor hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya, dengan masing-masing komunitas memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.[4]

Pada umumnya mata pencaharian orang Dawan adalah bercocok tanam dan beternak. Komposisi tanah, iklim, dan sumber air sangat berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat Dawan. Keadaan tanahnya berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur. Akibat tanah yang seperti ini tidak mendukung tumbuhnya vegetasi penutup. Pada musim hujan, keadaan tanah banyak mengandung air, dan akan mengembang bila telah penuh air hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat keras sehingga berpengaruh terhadap adanya sumber air, yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi. Masalah sumber air ini menimbulkan bentuk pemukiman dan usaha pertanian yang berpusat di daerah pegunungan dan pengembangan usaha tani lahan (ladang) kering yang didominasi jagung dan palawija.[5]
            Tempat yang didominasi oleh lapisan tanah liat pada umumnya kurang sesuai bila digarap sebagai lahan pertanian. Karena itu, penduduk memanfaatkan tanah yang terdiri dari campuran batu kapur dan tanah liat, di sekitar dataran tinggi untuk usaha taninya. Secara historis, penduduk mempraktikkan sistem usaha tani perladangan berpindah dengan teknologi tebas dan bakar. Dengan demikian, pemukiman pun sebagian terpusat di lereng-lereng pegunungan, yakni di daerah pedalaman Timor yang kondisi tanahnya amat kering. Itulah sebabnya orang Dawan menamakan dirinya Atoni Pah Meto yang artinya ”orang daerah kering” atau “orang tanah kering”.[6] 
3. Allah menurut Orang Dawan
3.1. Etimologi
Pada awal sebelum  agama masuk Kristen ke pulau Timor, khususnya pada zaman penjajahan, orang Dawan telah memiliki satu konsep tentang ilahi yang sangat khas. Konsep  tentang yang ilahi ini dilatarbelakangi oleh pemikiran orang Dawan dengan adanya “sesuatu” yang memiliki daya kekuatan melampaui kekuatan manusia. Bagi orang Dawan matahari merupakan salah satu wujud, yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ciptaan lainnya.  Oleh karena itu Matahari disebut Uis Neno. Kata Uis artinya Raja,Tuan, Yang Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit. Uis Neno diartikan sebagai Dewa atau “Tuhan” yang berkuasa atas langit. Dalam tradisinya, etnis Dawan memposisikan Uis Neno lebih istimewa di antara nama dewa-dewi yang ada.[7] 
3. 2. Asal-usul Pemberian Nama Uis Neno
Uis Neno sebagai dewa tertinggi yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan yang berkuasa atas lagit dan bumi tidak boleh disebut secara langsung. Kepada dewa tertinggi dan maha kuasa ini diberikan nama yang tidak lain adalah sebuah atribut Uis Neno, Tuhan hari (langit).[8] Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Kristen” adalah para misionaris pada waktu zaman penjajahan Portugis. Namun, di sini Uis Neno  dimengerti sebagai “raja langit”. Orang  Dawan sendiri tidak pernah menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam upacara ritus keagamaan, nama atau sebutan Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama atau sebutan lain yakni uis afu atau uis naijan( raja bumi atau daratan). Kombinasi ini mau mengungkapkan cara pikir orang Dawan sebagai dualitas paralel komplementaris. Kendati demikian, sebutan-sebutan ini tidak boleh dipisahkan, melainkan selalu didahului oleh kata Uis Neno. Maka sebutan yang lazim dipakai adalah Uis Neno Uis Afu, Uis Neno Uis Naijan.[9]
Pemahaman ini tetap dipertahankan oleh etnis Dawan dengan maksud menjaga dan mengakui aspek trasendensi  dan imanensinya. Uis Neno diyakini sangat jauh, namun dekat. Kedekatannya diperlihatkan dalam alam yang diwaliki oleh dewa-dewinya. Pandangan seperti ini tentunya sangat berpengaruh terhadap cara pikir Kristen, karena Allah itu mahatinggi dan tidak bisa didekati dan tidak bisa dipandang secara langsung dengan mata manusiawi biasa. Di lain pihak, manusia merupakan makhluk biasa yang memiliki keterbatasan. Ia menjadi eksis karena di-ada-kan oleh sang Peng-ada yang Mutlak. Tanpa Dia, manusia tidak bisa berbuat apa-apa bahkan tidak akan hidup. Manusia tidak pantas menyebut nama aslinya secara langsung karena merupakan hal yang tabu dan ke-eksistensiannya tidak lagi diakui secara utuh. Untuk sampai kepadanya, maka harus ada pihak kedua sebagai pengantara, yaitu para leluhur yang telah meninggal. Ada kepercayaan bahwa mereka yang telah meninggal terlibat secara langsung dan mereka yang akan menyampaikan permohonan manusia kepada yang tertinggi karena telah memperoleh kebahagiaan kekal. Masyarakat Dawan percaya pada Pah Nitu, yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno.[10]
3. 3. Peranan Uis Neno bagi Orang Timor
            Menurut pemahaman orang Timor Uis Neno dapat memanifestasikan atau mewahyukan dirinya di dalam air, di atas tanah, di langit, serta benda-benda alamiah lainnya yang dianggap sakral dan keramat. Dalam pemanifestasian dirinya di dunia, ada berbagai atribut yang digunakan oleh marga-marga Dawan untuk menyebut fungsi yang dimiliki oleh dewa tertinggi ini. Atribut-atribut untuk Uis Neno berkaitan erat dengan peranannya bagi manusia. Atribut-atribut yang dikenakan pada Uis Neno dan peranannya bagi manusia antara lain: [11]
  1. Apinat ma Aklahat: menyala dan membara
Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan sifat yang dimiliki oleh matahari sebagai dewa tertinggi dalam klarifikasi hirarki ketuhanan marga-marga Dawan. Dewa manas merupakan sumber cahaya yang memancarkan terang, kehangatan dan kekuatan serta memberikan kehidupan.
  1. Amoet ma Apakaet: mencipta dan membentuk
Kedua hal ini melukiskan sifat kemahakuasaan yang dimiliki dalam mencipta dan membentuk alam semesta sebagai seorang seniman terbesar. Dia-lah peng-ada mutlak yang mengadakan adaan-adaan lain, dan adaan-adaan lain itu selalu bergantung kepadanya. Sebab dia adalah perencana, pencipta, pelaksana terbaik yang tiada tandingannya dalam alam semesta. Karena itu, ciptaannya tetap suci dan dia-lah pemilik segala-galanya.
  1. Alikin ma Apean: membuka jalan dan mengatur kehidupan
Peranan Uis Neno di sini sama seperti orang tua yang memberikan “benih” kehidupan sehingga dilahirkan, memelihara, membentuk dan menuntunnya sampai sang anak dapat mandiri. Akan tetapi peranan sang dewa yang dimaksud di sini jauh melampaui pemeliharaan orang tua. Dengan kata lain, Dia-lah sumber awal dan akhir dari seluruh perjalanan manusia. Atribut-atribut tersebut memiliki hubungan yang erat dengan fungsi dan peranan orang tua dalam kehidupan keluarga, khususnya dalam mendidik anak-anak. Atribut-atribut ini biasanya diperdengarkan pada saat upacara adat dalam pertemuan doa dan perayaan dalam lingkaran kehidupan dan tahunan.
3. Tradisi Fua Pah
3.1 Pengertian Tradisi Fua Pah
 Secara etimologis, Fua pah berasal dari kata kerja Fuat artinya menyembah, bersujud, menengadah, sedangkan pah artinya, bumi, dunia, alam. Jadi, fua pah berarti menyembah bumi, dunia atau alam. Dalam kaiatan dengan dunia agraris Fua Pah  berarti meyembah tuan, raja/pemilik yang berkuasa atas bumi; dunia/alam. Maka ritus fua pah adalah upacara memberi sesajen kepada yang ilahi, pada saat membuka lahan pertanian. Tempat yang biasanya dijadikan lokasi pelaksanaan upacara Fua Pah adalah di kebun dan gunung atau bukit. Tempat-tempat ini dipandang sebagai tempat suci. Dalam pandangan berbagai suku di  nusantara, gunung memiliki sifat magis religius.[12]
3.2 Ritus Fua Pah
Ritus Fua Pah biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat berdiam Uis Neno-Uis Pah (Tuhan, raja langit dan bumi). Tempat-tempat itu adalah gunung, bukit atau ladang. Yang diperlukan dalam acara ini: Tobe sebagai imam, hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), Muti (kalung emas orang Dawan), sirih-pinang sebagai fungsi komunikasi religius dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno, dan bete dan tais (sarung orang Dawan).[13]
Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah ini dilaksanakan enam kali dalam enam tahap kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai. Keenam tahap itu adalah: tahap menebas hutan (lef nono tafek hau ana),  tahap membakar hutan (polo nopo sifo nopo),  tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e),  tahap panenan perdana (ta sana mate) dan tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf).[14] 
Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Uis Neno-Uis Pah,  masyarakat Dawan sudah memiliki semacam formula “doa” atau mantra untuk menaikan pujian dan syukur serta permohonan. Formula mantra ini dikenal dengan sebutan lasi tonis. Mantra diucapkan oleh seorang Tobe yang diberi kepercayaan oleh masyarakat setempat. Tobe, dalam masyarakat Dawan diyakini sebagai orang yang diberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Tobe ini dipercaya memegang peranan utama dalam segala pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga dari pada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran.[15]
Selesai pembacaan lasi tonis, tobe mulai menyembelih hewan kurban. Darah hewan kurban tersebut lalu dioleskan pada faot bena (batu pelat) dan pada benih tanaman atau hasil panenan, tergantung keenam tahap di atas. Daging hewan kurban tersebut kemudian di masak untuk selanjutnya dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah. Untuk jenis hewan berkaki empat seperti sapi, babi dan kambing bagian yang akan dipersembahkan adalah bagian hati dan has. Sedangkan untuk unggas misalnya ayam adalah bagian dada dan paha.  Persembahan yang berupa daging dan nasi diletakkan di atas altar, kemudian dipersembahkan kepada Uis Neno-Uis Pah dengan lasi tonis khusus. Usai pengucapan lasi tonis sajian (wajib) dimakan bersama oleh “umat” yang hadir.[16] 
4. Fungsi Ritual Fua Pah
Ritus Fua Pah sesungguhnya memiliki fungsi yang tidak sekadar berciri mistis melainkan terutama berciri sosiologis. Tradisi Fua Pah dapat dikategorikan ke dalam empat fungsi, yang terdiri dari:[17]
(1)    Fungsi Magis. Fungsi magi dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan dalam upacara ritual Fua Pah yang  bekerja karena daya-daya mistis. Unsur ini berkaitan dengan pelaksanaan ‘ramalan’ melalui hati hewan kurban. Tindakan ini jelas merupakan sebuah tindakan magis, dengannya manusia dapat mengetahui kehendak Uis Neno. Lebih lanjut, ritus Fua Pah bermaksud mempengaruhi kekuatan ilahi melalui rangkaian lasi tonis, agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.
(2)    Fungsi Religius. Pelaksanaan rangkaian ritus Fua Pah  dapat dikategorikan pula sebagai sebuah tindakan religius yang jelas bersifat kreatif dan berdimensi sosial. Dalam pelaksanaan ritus Fua Pah, masyarakat suku berkumpul bersama dan secara kreatif melaksanakan upacara itu demi kepentingan bersama seluruh anggota suku. Jika kultus para leluhur, yang juga dilakukan dengan cara ini dikategorikan sebagai tindakan religius, maka Fua Pah jelas memiliki fungsi religius dan  simbol religi lokal  masyarakat Dawan. Jika diungkapkan secara radikal (sampai ke akar-akarnya), maka pelaksanaan ritus Fua Pah akan bermuara kepada kepasrahan pada Uis Neno.
(3)    Fungsi Faktitif. Fungsi faktitif berkaitan dengan meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritus Fua Pah jelas merupakan suatu tindakan faktitif dengan motivasi meningkatkan kesejahteraan material anggota suku. Fungsi ini tidak saja diwujudkan lewat korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka.
(4)    Fungsi Intensifikasi. Fungsi Intensifikasi berkaitan dengan ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Pelaksanaan ritus Fua Pah terutama dilandasi oleh motivasi intensifikasi, karena masyarakat menginginkan panenan berhasil. 
5. Rangkuman
            Masyarakat Dawan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki bakat-bakat religius. Sebagai masyarakat petani dengan lingkungan alam yang kering dan tandus, percaya sepenuhnya pada kekuatan dan campur tangan roh-roh ilahi, yakni Uis Neno-Uis Pah. Ritus, mitos, religi dan sastra lisan (tonis) merupakan satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat berdiri sendiri. Dalam masyarakat Dawan, puisi ritual tonis itu memiliki konvensi dan formula yang diikuti dengan ketat, sehingga penyimpangan dari konvensi itu dapat menodai akibat dari magi. Kekuatan magis dalam upacara Fua Pah masyarakat Dawan terletak pada lasi tonis.
Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat Dawan yang umumnya merupakan petani ladang kering dengan sistem ‘tebas-bakar,’ ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara mereka menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat. Dalam setiap rangkaian upacara pertanian sesuai dengan saat-saat kritis pertumbuhan tanaman, yakni: tahap menebas hutan, tahap membakar hutan, tahap menanam, tahap pertumbuhan padi, tahap panen perdana, dan tahap panen akhir, mereka melaksanakan upacara korban Fua Pah. Ritus ini memiliki fungsi dan berkaitan erat dengan puisi ritual tonis yang justru merupakan inti kekuatan magis upacara ritual Fua Pah. Ritus Fua Pah memiliki empat fungsi utama, yakni: fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktitif, dan fungsi intensifikasi.
6. Refleksi Kritis
Sekalipun mayoritas masyarakat Dawan sudah memeluk agama Kristiani sebagai sebuah agama monotheis modern dan universal, kepercayaan lokalnya masih dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sungguh beralasan karena sebelum kedatangan dan kehadiran agama Kristen, masyarakat Dawan sudah memiliki kepercayaan dan pemujaan terhadap wujud tertinggi dan leluhurnya.
            Masyarakat Dawan memuja Uis Neno yang berarti Tuhan Langit. Uis Neno ini digambarkan sebagai apinat-aklaat atau ‘yang bernyala dan membara’, dan afinit-amnanut yang artinya ‘yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu’. Uis Neno juga dipercaya sebagai pemberi manikin-oetene atau ‘kesejukan dan kedinginan’. Dialah pemberi tetus ma nit ‘keadilan dan kebenaran’. Di samping itu dia dianggap sebagai dewa kesuburan yang mengatur musim, memberi padi dan jagung serta mengatur alam. Uis Neno berperan pula sebagai apaot-afatis artinya ‘yang memberi makan dan mengasuh’, amo’et-apakaet artinya ‘yang membuat dan yang mengukir’(mencipta). Akan tetapi Uis Neno juga dipercaya dapat mendatangkan kemarau panjang yang mengakibatkan tanaman mati dan dapat juga mendatangkan hama penyakit atas tanaman dan ternak serta atas diri manusia. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa Uis Neno merupakan sang pencipta, sang penyelenggara, dan maha kuasa. Uis Neno dipercaya memiliki dua wujud, yakni Uis Neno Mnanu artinya “Tuhan Yang Tinggi” dan Uis Neno Pala atau “Tuhan Yang Dekat (pendek)”.  Akan tetapi, keduanya masih diklasifikasikan sebagai Tuhan Langit.[18]
            Selain Tuhan Langit, masyarakat Dawan juga mengakui adanya Tuhan Bumi atau Penguasa Alam Semesta. Tuhan Bumi ini disebut Pah Tuaf atau Uis Pah. (Pah artinya bumi, dunia, atau alam). Uis Neno dan Uis Pah diakui membentuk kekuatan ilahi, namun superioritas Uis Neno tetap nyata. Keduanya memang berbeda, dan mempunyai eksistensinya masing-masing akan tetapi satu sama lain tidak dapat dipisahkan.Uis Pah  dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha mengambil hati mereka dengan upacara-upacara ritual. Bersama Pah Nitu (roh atau dunia orang mati) Uis Pah diyakini meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu-batu karang, mata air, pohon-pohon besar dan gunung-gunung.
            Masyarakat Dawan juga percaya pada Pah Nitu yaitu arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Arwah-arwah ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mereka seringkali dijadikan penghubung atau perantara antara manusia dengan Uis Neno. Mereka percaya juga pada Uis Leu yakni raja yang kudus, Tuhan yang haram, yang biasanya dikaitkan dengan Uis Neno.
Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban.
Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat tradisional Dawan. Tradisi ini telah menjadi semacam simbol konstitutif (yang membentuk kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif (yang membentuk ilmu pengetahuan), simbol penilaian moral (yang membentuk nilai-nilai moral dan aturan-aturan), dan simbol-simbol ekspresif (pengungkapan perasaan). Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat Dawan. Tradisi Fua Pah ini memiliki nilai filosofis dan teologis yang dalam bagi masyarakat Dawan. Nilai filosofinya adalah untuk menyejahterakan masyarakat sedangkan nilai teologisnya adalah menjalin hubungan yang baik dengan sang penguasa langit dan bumi yang dalam pengertian agama tradisional adalah Uis Neno-Uis Pah (Tuhan langit dan bumi).
Sejak masuknya kekristenan, paham tradisional tentang Uis Neno telah mengalami pergeseran nilai dan arti. Uis Neno tidak lagi dimengerti sebagai dewa “tertinggi langit-matahari” tetapi sebagai Allah yang sesungguhnya, sebagaimana Allah orang Kristen. Kehadiran Agama Kristiani tidak meniadakan konsep tradisional ini, tetapi dimurnikan. Pengertian akan Uis Neno lebih mengacu kepada seorang pribadi yang sangat Agung, mulia dan sangat berpengaruh terhadap hidup manusia, Dialah  Allah. Dia-lah pencipta lagit dan bumi. Allah selalu menjaga agar manusia tidak jatuh dalam cobaan (malapetaka), maka dalam hidupnya manusia harus menjalin relasi yang harmonis dengan-Nya, yang diyakini sebagai dan tujuan hidup dari semua makhluk ciptaaan.  Di sisi lain, dengan menyebut nama Uis Neno, secara implisit terkandung suatu seruan dan ajakan kepada manusia agar manusia memuji, bersyukur dan berterima kasih atas segala kebaikan dan kemurahan yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada manusia.
Berkaitan  dengan proses penciptaan, orang Timor meyakini bahwa Uis Neno merupakan sang Pencipta. Konsep dalam mitos tidak menghalangi pemahaman tentang kisah penciptaan. Uis Neno amoet ma apakaet dipahami sebagai sumber “Peng-ada yang mengadakan peng-ada-peng-ada lain. Adaan-adaan yang lain menjadi ada, karena ditopang oleh ada yang Mutlak ini. Jadi adaan-adaan yang lain selalu mengambil bagian dalam ada-Nya Yang Mutlak ini. Namun konsep akan Ada yang Mutlak dalam kepercayaan tradisional, khususnya etnis Dawan masih sangat primitif dan bersifat alamiah; artinya konsep pemahaman mereka akan Allah kadang juga dipengaruhi oleh tanda atau peristiwa-peristiwa alam, sehingga tidak heran bila dalam ritus keagamaan hal itu terungkap dalam bentuk pemberian sesajen di bawah pohon besar, bukit, batu besar dan lain sebagainya.  Kenyataan tentunya merupakan suatu tantangan bagi orang Timor. Diharapkan fungsi dan peran Gereja setempat mampu mengakomodasi masalah religiositas ini sehingga antara adat dan Gereja tidak saling meniadakan tetapi saling mendukung. Iman akan Kristus yang bangkit, diharapkan tetap menjadi dasar. Adat atau tradisi setempat hendaknya menjadi jalan lain untuk sampai kepada Kristus atau menghantar manusia pada jalan kebenaran dan hidup.


[1] Fua Pah merupakan suatu ritus penyembahan orang dawan terhadap Wujud Tertinggi. Mengenai tradisi ini akan dibahas pada bagian 3 makalah ini.

[2] Arti kata dawan dimengerti dalam beberapa versi. 1). Dawan sering diidentikan dengan pegunungan dan pedalaman berdasarkan lokasi dan tempat tinggal orang Dawan. 2). Kata dawan merupakan istilah yang dimodifikasi dari kata Jawa (Djawa) menjadi dawa. Menurut salah satu informasi, suku Dawan adalah pendatang dari pulau Jawa. Bukti insformasi ini adalah bahwa sekitar abad ke-13, raja-raja Timor berperang melawan kerajaan Majapahit di Jawa Timur dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan pulau Timor. [Lihat Andreas Tefa Sawu, Di bawah Naungan Gunung Mutis (Ende: Nusa Indah, 2004), hlm. 15-16.]  

[3] Richard Dashbach, “Ambeno: Bagaimana Rupamu Doeloe”, dalam P. Piet Manehat, SVD dan P. Gregor Neonbasu, SVD, Agenda Budaya Pulau Timor 2 (Atambua: Komisi Komunikasi Sosial Provinsi SVD Timor, 1992), hlm. 42.

[4] Mubyarto, dkk. Etos Kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu,dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur (Yogyakarta: P3PK UGM, 1991), hlm. 5.

[5] Alexander Un Usfinit, Maubes-Insana …, hlm. 5-6.

[6] Mubyarto, dkk. Etos Kerja…, hlm. 130.

[7]  Andreas Tefa Sawu , Di bawah Naungan Gunung Mutis (Nusa Indah: Ende, 2004), hlm. 107.

[8] Andreas Tefa Sawu , Di bawah …, hlm. 101.

[9] Andreas Tefa Sawu , Di bawah …, hlm. 103.

[10] Andreas Tefa Sawu, Di bawah…, hlm. 113.

[11] Andreas Tefa Sawu, Di bawah…, hlm. 105-108.
[12] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Hlm. 175-176.

[13] P. Nikolaus Seran, SVD, “Nilai Sirih-Pinang dalam Komunikasi Harian” ,dalam dalam P. Piet Manehat, SVD dan P. Gregor Neonbasu, SVD, Agenda (2) …, hlm. 132-133.

[14] Alexander Un Usfinit, Maubes-Insana …, hlm. 24.

[15] Tarno, dkk.,   Sastra Lisan Dawan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1993). Hlm. 16.

[16] Alexander Un Usfinit, Maubes-Insana …, hlm. 25.


[17] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 175-176.
 

[18] Mubyarto, dkk. Etos Kerja…, hlm. 152-153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar