Entri Populer

Jumat, 18 November 2011

Genetika Manusia

GENETIKA MANUSIA

Pengertian dan Sejarah
1. Pengertian[1]
            Istilah “gen” atau “Eugenetika” berasal dari bahasa Yunani gennaoo yang berarti menurunkan, meneruskan. Secara harafian istilah “gen” atau “eugenetika” dapat dimengerti sebagai pembawa sifat atau faktor sifat keturunan yang terdapat pada kromosom. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, orang sering menyebut eugenetik sebagai Social Biology, yaitu studi tentang kemajuan manusia (peningkatan kualitas manusia) melalui pengertian-pengertian genetika. Ia merupakan salah satu cabang ilmu genetika yang memusatkan perhatian pada pertanyaan: “bagaimana menciptakan manusia yang memiliki ciri-ciri unggul tanpa cacat” atau dengan kata lain, menciptakan manusia super.
            Bertitik tolak dari pengertian ini, maka Eugenetika berarti ‘perbaikan’ ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat. Menurut teori eugenetika, ras manusia bisa diperbaiki dengan meniru cara bagaimana hewan berkualitas baik dihasilkan melalui perkawinan hewan yang sehat. Sedangkan hewan cacat dan berpenyakit dimusnahkan.
Dalam satu kromosom dapat ditemukan gen secara berderet-deret yang masing-masing membawa satu sifat hereditas; gen semacam ini disebut gen terangkai. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, secara biologi molekul DNA (deoxyribonucleic acid) yang terdiri atas empat basa, yakni: guanin, sitoksin, adenin dan timin serta gula deoksiribosa dan fosfat. Sifat yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya disimpan dalam susunan keempat susunan basa tersebut. Secara keseluruhan bentuk molekul DNA dapat diumpamakan sebagai seuntai tangga yang berpilin ganda.

2. Sejarah Singkat[2]
Secara singkat eugenetika pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galton, saudara sepupu Darwin. Ia kali memperkenalkan istilah eugenik melalui bukunya Inquiries Into Human Faculty, tahun 1883. Sebelumnya ia memunculkan istilah eugenic, ia telah banyak melakukan penyelidikan atas genetika manusia. Pada tahun1869 ia mempopulerkan karya pertamanya dengan judul Hereditary Genius. Dalam karyanya Hereditary Genius, ia mengetengahkan hasil studinya tentang manusia unggul (superman).
Berdasarkan hasil penelitiannya, Galton berkesimpulan bahwa “akan menjadi sungguh-sungguh praktis untuk menghasilkan manusia unggul, dengan bakat (kemampuan) yang tinggi melalui perkawinan “bijaksana” selama beberapa generasi secara berturut-turut”. Usaha Galton itu ternyata menarik simpati banyak orang. Pada tahun 1907 didirikan sebuah lembaga English Eugenics Society di Inggris. Pada tahun 1926, berdiri pula American Eugenics Society.  Kemudian di Jerman NAZI pernah menggunakannya pada tahun 1930-an sampai 1940-an. Dewasa ini pengembangan ilmu genetika manusia dengan demikian terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia.

 



Hitler dan Teori Darwin

Benny Phang, O.Carm

Tak lama setelah berkuasa, Hitler menerapkan teori itu dengan tangan besi. Orang-orang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan dikumpulkan dalam ‘pusat sterilisasi’ khusus. Karena dianggap parasit yang mengancam kemurnian rakyat Jerman dan menghambat kemajuan evolusi, maka atas perintah rahasianya, dalam waktu singkat mereka semua dibabat habis.
Masih dalam eforia teori evolusi dan eugenetika, Nazi menghimbau muda-mudi berambut pirang bermata biru yang diyakini mewakili ras murni Jerman biar berhubungan seks tanpa harus menikah. Pada 1935, Hitler memerintahkan didirikannya ladang-ladang khusus reproduksi manusia. Di dalamnya tinggal para wanita muda yang memiliki ras Arya. Para perwira SS (Schutzstaffel) sering mampir ke sana buat mesum dengan dalih eugenetika. Para bayi yang lahir kemudian disiapkan menjadi prajurit masa depan ‘Imperium Jerman’.
Menurut Charles Darwin, karena ukuran tengkorak manusia membesar saat menaiki tangga evolusi, maka di seluruh Jerman dilakukan pengukuran buat membuktikan tengkorak bangsa Jerman lebih besar dari ras lain. Mereka yang tak sebesar ukuran resmi, begitupun yang gigi, mata, dan rambut di luar kriteria evolusionis langsung dihabisi.
'Eugenetika''' adalah filosofi sosial yang berarti "memperbaiki" ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.<ref name="Osborn1937">"Development of a Eugenic Philosophy" by [[Frederick Osborn]] in ''[[American Sociological Review]]'', Vol. 2, No. 3 (Jun., 1937) , pp. 389-397.</ref> Eugenetika dilansirkan oleh [[Adolf Hitler]].
Pada abad ke-20, banyak negara melakukan berbagai kebijakan eugenetika dengan berbagai cara, seperti pemaksaan aborsi, genosida, pengendalian kelahiran, pengamatan genetika, dan pelarangan menikah.
Kita memasuki zaman baru dalam genetika. Manusia modern sudah enggan berpegang pada prinsip-prinsip klasik, dan mencoba mencari terobosan baru hanya untuk sekedar mendekonstruksi prinsip-prinsip lama yang dianggap sudah basi. Kenyataannya menjadi lebih mengerikan lagi ketika dekonstruksi ini menjarah masuk ke bidang-bidang kehidupan manusia. Makna hidup manusia telah dan sedang mengalami dekonstruksi. Manusia dipandang tidak lebih dari sekedar produk yang bisa dimanipulasi.
Dalam konteks Indonesia, kita terbuai dengan perjuangan keadilan sosial, lebih-lebih option for the poor. Pembahasan tentang makna kehidupan manusia dalam etika bio-medis dianggap suatu bidang studi yang di atas awang-awang dan jauh dari kenyataan hidup. Benarkah demikian? Benarkah bahwa diskusi dan wacana tentang makna hidup manusia tidak ada sangkut pautnya dengan perjuangan keadilan sosial? Saya kira tidak! Justru ketika kita mencermati masalah-masalah biomedis, di sana banyak ketidakadilan sosial yang harus kita tanggapi. Seringkali masalah ketidakadilan sosial dalam dunia biomedis terbungkus oleh packaging yang manis dan cantik, tidak setelanjang kenyataan kemiskinan misalnya. Akan tetapi dampaknya adalah bahwa lagi-lagi orang miskinlah yang menjadi tertindas. Jangan-jangan kita gagap untuk menanggapinya, karena kurang tanggap.

A. Rekayasa Genetika dan Amniocentesis
Berbicara mengenai merekayasa generasi penerus tidak akan lepas dari dua hal yang melatarbelakanginya yakni: rekayasa genetika dan amniocentesis. Rekayasa genetika lebih berorientasi pada memproduksi generasi penerus sesuai dengan desain tertentu, sedangkan amniocentesis lebih berorientasi pada memilah-milah mana generasi penerus yang dianggap layak hidup, mana yang tidak.
Rekayasa Genetika
Teknologi IVF (in vitro fertilization) sudah mencapai tahap yang canggih. Teknologi fertilisasi yang semula digunakan untuk membantu pasangan tak subur untuk memperoleh anak, kini mulai dilirik dan dirayu oleh kemajuan teknologi rekayasa genetika.
Rekayasa genetika sendiri telah sukses pada tanaman dan hewan. Apa yang beberapa tahun lalu merupakan pembicaraan kaum elit ilmuwan, sekarang sudah dapat dijumpai pada pasar-pasar tradisional sekalipun. Semangka tak berbiji, misalnya, merupakan hasil rekayasa genetika yang dapat kita nikmati di dalam nasi kotak kita. Ayam kampung yang dahulu adalah ayam yang diperjualbelikan umum, sekarang malah menjadi barang mahal jika dibandingkan dengan ayam hasil rekayasa genetika yang cepat besar, berdaging banyak, dan empuk. Kentucky Fried Chicken atau MacDonald Fried Chicken sudah menjadi kesukaan dan gaya hidup kita, ayam yang dipakai bukan ayam kampung, tapi ayam hasil rekayasa genetika.
Kini di balik layar, di laboratorium-laboratorium resmi, dan lebih-lebih yang tak resmi, rekayasa genetika sudah merambah ke hidup manusia. Perkembangannya perlahan namun pasti. Tentu saja setiap kemajuan teknologi selalu berdampak positif dan negatif, namun seringkali dampak positif kemajuan itu yang diledakkan untuk dipasarkan, sedangkan dampak negatif yang signifikan seringkali malah ditutup-tutupi, atau bahkan tidak pernah dibicarakan sama sekali. Di sisi lain, pasar seringkali dilanda euforia akan penemuan yang baru tanpa mau peduli akan dampak negatif yang sedang menunggunya seiring dengan berjalannya waktu.
Maxwell J. Mehlman, seorang bioethicist dari Amerika Serikat, menyebut bahwa kemajuan teknologi genetika melahirkan suatu revolusi dalam masyarakat. Mehlman menyebutkan lima revolusi itu: revolusi dalam bidang genetika forensik, revolusi dalam bidang informasi genetika, revolusi terapis, revolusi dalam genetika behavioris, dan revolusi dalam peningkatan mutu genetik dengan berlebihan (genetic enhancement). Mehlman menyebutkan bahwa revolusi dalam peningkatan mutu genetik ini sebagai the fifth revolution, karena revolusi di bidang ini akan menjadi sangat riskan dan mengkhawatirkan untuk masa depan umat manusia.
Kaum konservatif cenderung memandang revolusi ke lima ini hanya sebagai science fiction. Mereka menganggap bahwa hal itu masih lama terjadi, apalagi dalam konteks Indonesia. Argumen saya sederhana, lima belas tahun yang lalu di Indonesia telepon selular adalah semacam science fiction yang hanya bisa dilihat di film-film Hollywood dan dimiliki orang-orang Amerika tertentu. Sekarang tukang sayurpun menjajakan dagangannya melalui telepon selular.
Revolusi genetic enhancement ini bisa menjadi amat mengerikan. Teknologi IVF memungkinkan adanya rekayasa genetika lebih lanjut. Embryo “sisa-sisa” proses IVF yang dibekukan digunakan untuk eksperimen-eksperimen rekayasa genetika. Mungkin institusi-institusi resmi dilarang mempraktekkan eksperimen yang menggunakan subyek manusia ini, tapi klinik-klinik atau laboratorium-laboratorium pribadi yang bekerja tersembunyi tersebar di mana-mana.
Beberapa atlit, misalnya, menggunakan bahan yang disebut erythropoeitin (EPO) untuk menghembus kekuatan dan stamina mereka. Sebagai follow up, beberapa waktu yang lalu, para ilmuwan mulai merekayasa EPO sintetik yang menggunakan teknik penggabungan DNA. Teknologi ini kemudian bisa digunakan untuk merancang seorang bayi untuk lahir dengan kemampuan atletik yang tangguh. Contoh lain adalah hormon pertumbuhan manusia (Human Growth Hormone/HGH) yang diambil dari kelenjar pituitari mayat untuk menyembuhkan kasus kekerdilan (dwarfism). Sekarang para ilmuwan sudah membuat tiruan sintetik hormon itu dengan menggunakan teknik rekayasa genetika yang sama. Tujuannya nanti bukan untuk menyembuhkan dwarfisme, tapi hanya untuk sekedar menaikkan mutu tinggi seorang anak, misalnya: menjadi setinggi pemain bola basket terkenal. Pemilihan jenis kelamin anak juga dapat dilakukan dengan “mudah,” yakni dengan menyaring sperma yang membawa kromosom X atau Y. Jenis kelamin anak ditentukan sebelum implantasi. Teknologi ini akan laris di India atau Cina dimana anak perempuan hanya dipandang sebagai beban ekonomis bagi keluarga.
Rekayasa genetika ini bisa berlanjut ke hal lain, misalnya untuk menggelembungkan kegeniusan intelegensia dengan dilahirkannya para Mozart, Einstein, atau Faraday baru. Atau hanya sekedar cosmetic enhancement dengan melahirkan para Ratu Cleopatra, Brad Pitt, atau Celine Dion baru. Ini semua diterapkan pada calon anak yang dikandung sesuai dengan keinginan orang tuanya.
Dampak negatif dari rekayasa genetika ini bisa berkembang pada, misalnya perdagangan sperma atau ovum. Sperma dan ovum dari kaum genius atau selebritis menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan besar sepihak. Pernah dilaporkan penyimpangan-penyimpangan yang menyertai teknologi rekayasa genetika: “seorang ahli IVF menggunakan spermanya sendiri tanpa sepengetahuan pasangan yang dilayaninya, seorang wanita di Afrika Selatan hamil dengan teknik IVF dari ovum anaknya dan sperma dari menantunya, seorang feminis di California memiliki bank sperma dan menyuplai kaum lesbian, di negara bagian yang sama ini ada bank yang menyimpan sperma dari para pemenang Nobel, dan seorang lelaki menuntut agar embryo beku yang disimpan dari hasil IVF dengan mantan istrinya itu dihancurkan.”
Jadi produk super baby dengan risiko-risiko mengerikannya yang dua puluh tahun yang lalu hanya sekedar science fiction yang digambar di komik-komik, kini sedang dalam tahap penyempurnaannya untuk kemudian dijual bebas di pasar. Ini semua bukan science fiction. Dan ini semua hanya sekedar ringkasan singkat dari ribuan detail perkembangan teknologi rekayasa genetika untuk merancang dan merekayasa generasi penerus kita.

Amniocentesis
Sekarang kita melihat fetus yang dikandung “secara normal” melalui hubungan seksual suami istri. Fetus yang hidup dan berkembang dalam kandungan dikelilingi oleh membran amnion (selaput ari-ari). Di dalamnya terdapat cairan amniotik (air ketuban) yang berfungsi untuk sebagai peredam benturan dan oleh karenanya melindungi fetus. Sebelumnya apa yang terjadi di dalam kandungan merupakan misteri yang hanya dapat dipandang manusia secara mengagumkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, apa yang dahulu adalah suatu rahasia besar menjadi sesuatu yang bisa dilihat dan bisa dianalisa. Amniocentesis adalah salah satu dari perkembangan teknologi dunia medis itu.
Amniocentesis adalah suatu prosedur diagnosa prenatal di mana jarum panjang digunakan untuk mendapatkan cairan amniotik dari dalam kandungan. Cairan ini dapat digunakan untuk uji genetik atau diagnosa yang lain. Amniocentesis dilakukan pada fetus yang berumur enam belas sampai dua puluh minggu. Keith L. Moore dan T.V.N. Persaud, dua orang ahli anatomi dan biologi sel, amniocentesis disebut sebagai prosedur pemeriksaan fetus yang paling invasif. Hal ini dikarenakan selain menembus amnion, ternyata jarum juga menembus chorion. Ada 200 ml cairan amnion, dalam proses amniocentesis cairan yang diambil berkisar antara 20-30 ml. Moore dan Persaud menyatakan prosedur ini relatif aman jika dilakukan oleh tangan dokter yang berpengalaman pula menggunakan ultrasonogram. Mula-mula amniocentesis hanya merupakan tindakan experimental di laboratorium, tetapi dalam tahun 1990-an (di USA), amnicentesis menjadi program standart, yakni tindakan rutin yang diambil dalam pemeriksaan kehamilan. Dari interview lisan-informal pada beberapa orang ibu muda, di Indonesia praktek ini mulai dikenakan pada ibu-ibu hamil, kemungkinan besar tanpa penjelasan lebih lanjut pada mereka, mengingat kondisi peraturan dan hukum yang tidak pasti dan jelas.
Seperti telah disebutkan di atas, amniocentesis bertujuan untuk diagnosa genetik fetus yang dikandung. Diagnosa ini mendeteksi keabnormalan kromosom yang biasa disebut Downs Syndrome, atau ratusan penyakit genetik yang lain semacam sicle-cell anemia, penyakit Tay Sachs, atau kelainan syaraf semacam hydrochepalus dan spina bifida.
Dalam usia dua puluh minggu panjangnya sekitar 19 cm, dan sudah berbentuk manusia kecil yang lengkap. Ini adalah juga salah satu sebab mengapa cairan amnion diambil pada waktu fetus sudah berusia cukup matang, yakni supaya dapat mendeteksi komposisi genetik fetus dengan tepat. Jika didapati pribadi-pribadi kecil ini abnormal secara kromosomal, genetik, maupun neural, maka cara paling efektif yang dianjurkan dan biasanya diambil oleh seorang dokter (mungkin bersama orang tua si fetus) adalah aborsi. Secara sosial, aborsi yang preventif menghalangi kelahiran anak-anak yang cacat ini adalah aborsi yang paling bisa diterima. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% penduduk menyetujui aborsi dalam situasi seperti ini. Maka dari itu, Rothman dengan berani menyebut kehamilan di masa di mana amniocentesis menjadi prosedur standart sebagai kehamilan tentatif (tentative pregnancy). Ini adalah suatu kehamilan yang dicoba-coba, jika apa yang dikandung baik maka kehamilan akan diteruskan, jika yang dikandung tidak memenuhi syarat, maka kehamilan akan dihentikan. Ini karena bayi yang dikandung tidak sesuai dengan desain yang kita terapkan padanya.

B. “Keutamaan” Belas Kasih dan Kompromi
Gilbert Meilaender, seorang ahli etika yang terkenal di Amerika, melihat kenyataan manusia modern yang mau merancang keturunannya sesuai dengan kehendaknya sebagai dipengaruhi oleh keutamaan belas kasih (compassion) dan kompromi (consent). Keutamaan belas kasih yang palsu menggerakkan kita untuk melenyapkan segala macam penderitaan sebisa mungkin, dan dengan keutamaan kompromi, yakni menuntut agar tindakan belas kasih kita ini diprivatkan.
Keutamaan belas kasih melahirkan keinginan untuk merancang generasi penerusku yang bukan dalam taraf biasa-biasa saja, tapi dalam kualitas yang lebih. Maka genetic enhancement untuk mensuplai generasi penerusku dengan berbagai kualitas genetis unggul harus dilakukan. Kasihan kalau prestasi hidupnya biasa-biasa saja.
Dari belas kasih ini pula manusia modern cepat merasa “kasihan” kepada generasi penerusnya yang dianggap tidak kompeten untuk meneruskan dirinya. Jika ditemui bahwa generasi penerus itu cacat secara fisik maupun mental melalui amniocentesis, maka lebih baik kehidupan generasi penerus itu dihentikan sesegera mungkin. Daripada generasi penerus itu menderita dalam penyakitnya atau kondisi fisiknya yang tidak sempurna, maka dengan penuh belas kasihan lebih baik generasi penerus itu tidak usah dilahirkan. Apakah secara sarkartis ini boleh disebut pembunuhan ras yang abnormal? Apa kemudian standart kenormalan? Ternyata keutamaan belas kasih manusia modern ini melahirkan sikap rasis dan berujung pada eliminasi kehidupan.
Sikap belas kasih ini tidak bisa begitu saja diekspos ke masyarakat luas. Maka mesti ada kompromi-kompromi tertentu sehingga sikap dan keputusan yang aku lakukan ini melulu karena keputusan pribadiku dan urusanku, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Bahwa aku melakukan screen and abort generasi penerus yang kuinginkan atau yang tidak kuinginkan itu bukan urusan orang banyak, itu urusanku yang mengatur kelanjutan keturunanku.
Inilah kedua “keutamaan” manusia-manusia modern yang melatarbelakangi rekayasa genetika dan amniocentesis yang bertujuan untuk mendesain generasi penerus. Penilaian moral yang kritis akan mampu membuat kita menyimpulkan bahwa kedua keutamaan ini per excessum dan per defectum adalah keutamaan palsu (false virtues).

C. Manusia sebagai Produk
Rothman, peneliti dampak amniocentesis, ketika mewawancari para ibu hamil yang mengalami amniocentesis menyimpulkan suatu sikap yang muncul ketika prosedur screen and abort itu menjadi hal yang normal. Seorang ibu atau orang tua dapat berkata pada manusia yang dikandungnya demikian, “Semua ini adalah standartku. Jika engkau memenuhi standart ini, engkau adalah milikku dan aku akan mencintai engkau dan menerimamu secara total. Tapi setelah engkau melewati penelitian ini.” Cinta dan penerimaan orang tua kepada anak yang menjadi generasi penerusnya sarat diwarnai syarat kualitas tertentu. Jika syarat atau desain ini tidak dipenuhi maka anak lebih baik dibuang.
Coba bandingkan dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada menaikkan mutu produk. Jika kualitas barang produksi tidak tinggi, maka ia tidak laku di pasar. Jika tidak laku di pasar, maka produk itu lebih baik dibuang saja. Tidak ada bedanya antara orang tua sikap terhadap barang produksi dan kepada seorang anak. Generasi penerus adalah suatu produk yang harus disiapkan dengan baik sesuai desain orang tua. Jika tidak maka dia akan kalah dalam persaingan. Maka segala cara harus ditempuh untuk menaikkan kualitas generasi penerus. Mereka harus dirancang sedemikian rupa melalui screen and abort maupun rekayasa genetika. Yang satu membuang produk generasi penerus yang jelek, yang lain meningkatkan kualitasnya. Manusia menjadi produk dari manusia lain, manusia tidak lagi ditemui sebagai seorang pribadi yang sejajar, sebagai seorang sesama, tetapi sebagai produk yang bisa digunakan atau tidak digunakan semau pengguna produk itu. Ironisnya, sang orangtualah yang pertama-tama menjadi produsen utama.

D. Prinsip Primum Non Nocere
Salah satu prinsip penting dalam etika biomedis adalah prinsip “tidak melakukan kejahatan” (nonmaleficence). Prinsip ini menandaskan suatu “kewajiban untuk tidak melukai orang lain.” Prinsip biomedis ini berhubungan erat dengan suatu axiom lama dari Hipokrates, yakni: “Primum Non Nocere” (pertama-tama jangan melukai). PNN adalah kewajiban utama dokter untuk tidak bertindak, dimana apa yang dilakukannya kemungkinan dapat melukai hidup norma dan sehat. Aksiom ini seringkali disebut dengan Sumpah Hipokratis. Suatu sumpah yang harus diucapkan oleh seorang dokter dari zaman Hipokrates sampai sekarang, namun yang seringkali dilanggar.
Prinsip primum non nocere (PNN) ini, sekali lagi, mau menandaskan bahwa jangan mengundang luka atau mengambil risiko melukai kehidupan yang sehat. Tugas seorang medicus atau dokter adalah untuk mengobati, bukan untuk mengotak-atik kehidupan yang sudah sehat. Prinsip ini melahirkan norma-norma detail lainnya, yakni: “jangan membunuh, jangan menyebabkan kesakitan atau penderitaan, jangan melumpuhkan, jangan menyerang, jangan menekan keluar hidup yang baik dari seseorang.” Leon R. Kass, presiden dari penasihat Presiden Amerika Serikat untuk bioetika, menandaskan pentingnya para tenaga medis dan ilmuwan untuk tetap berpegang tegus pada prinsip lama yang masih aktual ini. Prinsip PNN sangat menghargai kehidupan, dan penanganan kehidupan yang sedang terganggu (sakit) diwarnai dengan kebijaksanaan yang mendalam. Hipokrates sendiri dalam Decorum, seperti dikutip Kaas, menyatakan, “Antara pengobatan dan cinta akan kebijaksanaan tidak ada perbedaan besar; kenyataannya pengobatan memiliki segala hal yang menuntun menuju kebijaksanaan.”
Terhadap tendensi postmodern untuk merancang generasi penerus ini, pertanyaan kritis dapat dilontarkan: apakah tindakan rekayasa genetika dan screen and abort dalam amniocentesis itu untuk terapi (pengobatan) ataukah sekedar untuk enhancement? Untuk menyembuhkan atau untuk melebih-lebihkan? Untuk terapi fetus yang menderita penyakit atau untuk produksi manusia superior, atau bahkan eliminasi manusia inferior? Sudahlah menjadi jelas bahwa intensi dari rekayasa genetika adalah untuk melebih-lebihkan kualitas generasi penerus, dan amniocentesis berujung pada membinasakan dan membuang generasi penerus yang dinilai tidak kompetitif atau tidak berguna sama sekali.
Maka dari itu, penilaian moral amniocentesis dan rekayasa genetika untuk mendesain generasi penerus jatuh pada pengadilan prinsip PNN. Rekayasa genetika yang bertujuan enhancement dan amniocentesis yang abortif bukanlah jalan terapi yang bisa ditolerir sesuai dengan prinsip PNN dalam etika biomedis. Rekayasa genetika melakukan invasi besar-besaran pada kehidupan yang sudah sehat dengan melebih-lebihkan kualitasnya, ini berarti rekayasa genetika melukai hidup yang sehat, walaupun luka itu tertutup dalam bungkus enhancement. Sedangkan amniocentesis berujung pada aborsi, membunuh kehidupan yang dianggap tidak normal. Manusia hanya dihargai sebatas normal atau tidak normal. Manusia tidak dihargai in se sebagai manusia.
Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae juga mendukung prinsip PNN yang secara absolut menghormati hidup manusia dan kesuciannya (EV 89). Maka Paus mengajak para tenaga ahli dan tenaga medis untuk menganut prinsip ini, seraya menjadi tenaga-tenaga profesional yang menjadi penjaga dan pelayan kehidupan manusia.
Untuk rekayasa embryo yang bertujuan melebih-lebihkan mutu kehidupan manusia, Paus menyebutnya sebagai “kejahatan terhadap martabat pribadi manusia” (EV 63). Sedangkan terhadap amniocentesis ia juga menandaskan bahwa jika prosedur itu dimaksudkan untuk terapi maka hal itu secara moral bisa diijinkan (EV 63), akan tetapi kemajuan sains sampai sekarang belum mencapai tahap yang dapat melakukan terapi genetis itu, malah amniocentesis bisa berujung pada aborsi selektif pada anak-anak yang akan lahir cacat. Untuk itu mendiang Paus menegaskan: “Tindakan seperti demikian itu memalukan dan sungguh-sungguh patut dicela, karena sikap itu mengandaikan mengukur nilai kehidupan manusia hanya dari ukuran normalitas dan kesehatan fisik, oleh karenanya membuka jalan untuk melegitimasikan pembunuhan bayi dan juga eutanasia” (EV 63).
E. Penutup: Generasi Penerus, Dilahirkan atau Diproduksi?
Dalam ensiklik Humanae Vitae (1968) yang mungkin banyak disalah mengerti orang dan dianggap suatu ensiklik regresif dari Paus Paulus VI, ia menandaskan prinsip yang menjadi pokok utama pikirannya. Prinsip itu adalah “kehidupan manusia itu adalah suci” dan “jangan memisahkan unsur unitif dan prokreatif” (cf. HV 12-13). Dalam bahasa teknis hal ini terdengar kering. Tetapi pengejawantahan prinsip ini dapat dirumuskan secara positif demikian: “Hidup manusia itu suci, maka janganlah dipermainkan oleh kemjuan teknologi. Sejak awal Sang Pencipta menghendaki agar kehidupan baru yang dilahirkan itu berasal dari cinta antara dua insan yang disatukan di dalamNya. Manusiapun dijadikan rekan kerja samaNya untuk melahirkan manusia baru lewat cinta, bukan lewat rekayasa. Maka cinta kasih suami istri yang terungkap dalam hubungan seksual yang sehat dan saling menghargai sebagai bentuk penyerahan diri total satu sama lain adalah satu-satunya tempat di mana kehidupan baru seharusnya berasal dan bermula. Campur tangan pihak ketiga baik berupa alat ataupun orang itu memisahkan kedua aspek agung dan indah ini: cinta dan kehidupan.”
Manusia itu bukan produk yang dibuat oleh kehendak manusia lain. Para suami-istri, tenaga medis, dan ilmuan bukanlah allah-allah kecil yang bermain-main menjadi seperti Allah bagi manusia lain yang kecil dan tak berdaya dalam bentuk embryo maupun fetus, tetapi mereka adalah pelayan-pelayan Allah (Mzm 116:16, Mat 25:14, Yoh 15:20, 1Kor 7:22, Ef 6:6) dalam menghargai anugerah kehidupan ini. Playing God membuat manusia menjadi frustrasi dan malah akan memproduksi monster-monster yang akan merugikan generasi penerus yang sebenarnya ingin dirancang untuk menjadi lebih baik daripada generasi yang terdahulu. Akankah kita mendukung kelahiran generasi penerus kita sebagai pribadi-pribadi manusia yang diciptakan Allah dengan segala kelebihan dan kekurangannya menurut kehendakNya? Ataukah kita mau memegang kendali dan mendesain generasi penerus kita dan menjadikan mereka sebagai produk kita dan bukan keturunan kita? Kita mau melahirkan atau memproduksi generasi penerus kita? Kita mau memandang generasi penerus sebagai pribadi manusia yang setara dengan kita, atau memandang mereka sebagai raw material yang menunggu untuk kita bentuk menjadi ini dan itu sesuai dengan kehendak kita?
Para pengikut Kristus dipanggil untuk terlibat dalam tindakan penyelamatan Allah di dalam dunia ini. Berhadapan dengan tantangan dunia sains yang semakin maju dan rumit adalah tugas mereka untuk menyembuhkan dunia ini dari efek-efek dosa yang merusak dunia ini. Akhirnya Gaudium et Spes menyatakan,
“Sebab nilai-nilai martabat manusia, persekutuan persaudaraan dan kebebasan, dengan kata lain: semua buah hasil yang baik, yang bersumber pada kodrat maupun usaha kita, sesudah kita sebarluaskan di dunia dalam Roh Tuhan dan menurut perintahNya, kemudian akan kita temukan kembali, tetapi dalam keadaan dibersihkan dari segala cacat-cela, diterangi dan diubah, bila Kristus mengembalikan kita kepada Bapa kerajaan abadi dan universal: “kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan kedamaian.” Di dunia ini Kerajaan itu sudah hadir dalam misteri, tetapi akan mencapai kepenuhannya bila Tuhan datang.” (GS 39)
Benny Phang, O.Carm


FARMACIA
WAHANA KOMUNIKASI KINTAS SPESIALIS
Bioetika
RACIKAN KHUSUS – VOL.6 NO.8, Maret 2007 oleh Andra

Keilmuan dan teknologi biologi molekular terus berkembang. Tanda tanya besar yang  selama ini terus menggelitik ilmuan  terntang eksistensi manusia pun perlahan mulai terkuak. 

Pertengahan April 2003, sebuah proyek mega raksasa dunia, Human Genome Project (HGP), yang dilakukan oleh National Center for Human Genome Research (NCHGR) dan peneliti HPG lainnya diumumkan telah berakhir. Tapi bukan berarti dengan selesainya proyek ini, semua tabir rahasia kehidupan dari kode-kode genetika telah selesai dibongkar, dan mungkin tidak akan pernah selesai. Masih tersisa 1% gen yang mengandung eukromatin yang dipercaya tidak bisa dirangkai karena mereka tidak stabil pada semua vektor.
 Meski demikian, HGP merupakan suatu lompatan luar biasa dalam penelitian biologi molekular. HGP dikembangkan untuk mengontrol informasi genetik pada tubuh manusia. Dalam  dunia kedokteran, hasil HPG bisa berdampak dalam perbaikan kesehatan secara menyeluruh. Dengan mengungkap semua genoma manusia, maka bisa dikembangkan strategi untuk mengindentikasi gen yang berkontribusi dalam menimbulkan  suatu penyakit. Hasil HGP juga akan semakin mendorong perkembangan terapi genetik (targeted therapy). Tapi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan rangkaian genoma manusia dalam perawatan kesehatan tidak bisa diramalkan. Sekarang proses ini baru saja dimulai, seperti pengembangan obat yang secara tepat menembak protein BRAF. Mutasi protein ini berdasarkan hasil penelitian terlibat dalam 70% penyakit keganasan.
Mutasi gen diduga juga berperan penting dalam menyebabkan sebagian besar penyakit yang berkembang saat ini, semisal penyakit jantung, diabetes, gangguan sistem imun, dan birth defect. Penyakit ini diyakini merupakan hasil kolaborasi kompleks antara gen dengan faktor lingkungan. Nah bila gen yang berkontribusi tadi telah berhasil diidentifikasi, maka ilmuan bisa mempelajari bagaimana spesifiknya faktor lingkungan, seperti makanan, obat, polutan, berinteraksi gen tersebut. Selanjutnya tentu bisa dicari strategi untuk mengoreksi dan mengendalikan interaksi itu dan menjadikannya sebagai modalitas terapi.
Pembongkaran genoma manusia juga akan memungkinkan penemuan varian yang berisiko tinggi terhadap suatu penyakit. Hal ini sangat berguna untuk diagnosis pada tahap sangat dini, bahkan sebelum gejala muncul.  Untuk penyakit kanker misalnya, dengan mengetahui seorang terdiagnosis sejak awal  secara genetik berisiko kanker, maka dia akan bisa melakukan pencegahan dengan menghindari faktor risiko lainnya, semisal makanan, polutan, sinar UV, serta jika perlu pemberian terapi preventif.
Meskipun  memberi manfaat besar, namun bukan berarti HGP tanpa pertentangan sama sekali. Banyak pertanyaan yang muncul terhadap proyek ini. Seandainya suatu saat nanti memungkinkan dilakukan tes genetik lengkap sehingga memberikan data gen yang menyeluruh dari seseorang, bagaimana prosedur untuk menjaga agar data itu tetap aman, rahasia, dan hanya jadi milik pribadi? Pasalnya bila data ini tidak terjamin kerahasiaanya, maka akan banyak masalah sosial yang akan timbul. Misalnya saja, pemberhentian dari tempat kerja atau agen asuransi meminta pembayaran premi lebih tinggi, 3-4 kali lipat, saat tahu individu terkait memiliki gen kanker. Diskriminasi akan bertambah, tak hanya ras, agama, suku, bangsa, warna kulit, tapi meningkat menjadi diskriminasi genetik.
Kemungkinan untuk melalukan early diagnosis atau diagnosis genetik seperti diungkapkan diatas juga akan  berpotensi menimbulkan masalah. Seseorang yang tidak optimis dan tahu sejak lama bahwa dirinya akan menderita kanker bisa saja mengalami depresi dan ansietas. Alih-alih melakukan pencegahan, malah penyakitnya kian cepat datang akibat kondisi psikis yang buruk tadi. Apalagi seseorang yang kemudian didiagnosis dengan gangguan genetik, tapi pengobatannya belum ada hingga saat ini. Misalnya saja, mutasi gen beta-globin yang dihasilkan pada penyakit sel sickle yang diidentifikasi pada 1956, tapi hingga kini belum ada pengobatannya.
Menurut Prof. Dr. Muhammad Kamil Tadjudin, SpAnd, Anggota Komisi Bioetika UNESCO, selama suatu penelitian HGP memberikan manfaat besar dan disertai niat dan dikerjakan dengan baik bukanlah suatu masalah. Namun apabila penelitian berdampak besar negatif pada kehidupan sosial atau kemashlatan umat, serta melenceng dari tujuh syarat utama penelitian biomedik, barulah perlu ditentang secara bioetika. (lihat tabel 1)   

Tabel.1. Tujuh syarat etika penelitian biomedik

 Syarat
Keterangan
Alasan etika
Kepakaran penilai
1.       Nilai sosial dan ilmiah
Penilaian suatu pengobatan, tindakan atau teori yang akan meningkatkan kesehatan atau pengetahuan
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan pemahaman tentang prioritas sosial
2.       Validitas ilmiah
Penggunaan prinsip dan metodologi ilmiah, termasuk pengujian statistik yang akan menghasilkan data yang dapat dipercaya dan sahih
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan metode statistik;
Pengetahuan tentang keadaan masyarakat untuk dapat menentukan keberhasilan
3.       Pemilihan subyek penelitian yang adil
Pemilihan subyek penelitian dilakukan sedemikian rupa sehingga orang cacat dan rentan menjadi sasaran untuk penelitian yang berisiko tinggi dan golongan sosial atas tidak terpilih untuk penelitian yang kemungkinan besar akan berhasil
Keadilan
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan tenang etika dan hukum
4.       Ratio untung-rugi yang baik
Mengurangi bahaya; meningkatkan kemungkinan berhasil; bahaya yang akan dialami subyek seimbang dengan keuntungan yang mungkin diperolehnya atau diperoleh masyarakat
Tidak merugikan orang, menguntungkan, dan non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait; pemahaman tentang nilai-nilai sosial masyarakat
5.       Penilaian oleh pihak independen
Penilaian rancangan penelitian, subyek penelitian dan ratio untung-rugi untuk orang-orang yang tidak terlibat dalam penelitian itu
Akuntabilitas publik; meminimalkan konflik kepentingan
Peneliti yang tidak mempunyai hubungan intelektual, finansial dan independen; pengetahuan ilmiah dan etika
6.       Pemberian persetujuan atas dasar mengerti
Penjelasan kepada subyek tentang tujuan, prosedur, bahaya, keuntungan, penelitian ini dan alternatif-alternatif yang tersedia, sehingga subyek mengerti keterangan yang diberikan dan dapat membuat keputusan sukarela untuk turut serta atau tidak
Penghormatan kepada otonomi individu
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan hukum, dan etika
7.       Penghormatan kepada calon subyek dan subyek penelitian
Penghormatan untuk subyek melalui:
(1)     Mengizinkan menarik diri dari proyek penelitian
(2)     Melindungi rahasia pribadi
(3)     Memberitahu subyek jika ada perkembangan baru dalam bahaya dan keuntungan
(4)     Memberitahu subyek tentang hasil penelitian
(5)     Menjaga kesejahteraan dan keselamatan subyek
Penghormatan kepada otonomi dan kesejahteraan individu
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan hukum dan etika; pengetahuan tentang masyarakat subyek

 Stem Cell
Pro-kontra terhadap perkembangan biologi molekuler kedokteran juga terjadi dalam bidang penelitian stem cell. Menurut Tadjudin, sebenarnya prosedur stem cell itu sendiri tidaklah menentang etika. Bahkan bila dilihat dari segi hasil dan manfaat yang bisa diperoleh, teknologi ini malah sangat bagus sekali. Pasalnya, stem cell sangat berpotensi bisa mengatasi berbagai penyakit degeratif dan penyakit yang kerap memerlukan transplantasi organ.
Masalah stem cell, lanjut Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kemasyarakatan Universitas Islam Negeri Jakarta ini, sebenarnya hanya terkait dengan sumbernya. Bila sumbernya berasal dari embrio, itu baru jadi masalah. Apakah embrio itu sudah dihitung sebagai suatu makhluk hidup? Nah, hal inilah yang dipertentangkan. Kemudian hal lain yang dikhawatirkan adalah timbulnya peternakan embrio, atau orang sengaja membuat embrio lalu hamil dan aborsi untuk mendapat stem cell. “Lain halnya kalau memang sumbernya dari abortus spontan, menurut saya sih tidak apa-apa dari pada mubazir. Tapi kembali lagi pada masalah embrio itu apakah makhluk hidup. Kalau dalam Islam, apabila hal itu niat dan tujuannya baik, dan embrio belum ditiupkan roh, maka tidak apa-apa. Tapi kalau Kristen jelas menentang hal ini,“ ujar pria lahiran Jakarta, 3 November l937 ini seraya menjelaskan bahwa masalah etika itu terkait dengan banyak aspek dari nilai kemanusiaan dan kepercayaan.


 Bayi Tabung, Pemilihan Jenis Kelamin, dan Early Prenatal Diagnosis
Kemajuan teknologi dan biologi kedokteran telah berhasil membantu pasangan yang mengalami masalah kesuburan untuk memperoleh buah cinta mereka, bahkan bisa memilih jenis kelamin serta diagnosis gangguan genetik bakal janin. Di Tanah Air, teknologi yang bisa dinikmati baru sampai pada pembuatan bayi tabung. Di Makmal Terpadu FKUI harga ditawarkan cukup terjangkau dengan satu siklus sekitar 30- 40 juta rupiah. Namun yang menjadi masalah keberhasilan bayi tabung di Indonesia masih kecil, sekitar 10%.
Dari segi etika, pembuatan bayi tabung tidak melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah. Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor. Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang  menentang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan muhrimnya.
Untuk masalah pemilihan jenis kelamin, kata Tadjudin, secara teknis bisa dilakukan. Misalnya pada pembuatan bayi tabung dilakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru kemudian dilakukan pembuahan in vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan. Dalam Islam hal ini jelas tidak diperbolehkan. Selain menyalahi keinginan yang Maha Pencipta, pemilihan jenis kelamin tentu akan mengganggu keseimbangan dan keharmonisan komunitas.
Perkembangan biologi molekuler kedokteran saat ini juga memungkinkan dilakukan diagnosis awal apakah ada kelainan pada bakal janin. Menurut Tadjudin, diagnosis biasanya dilakukan pada stadium kedelapan sel. Salah satu dari delapan sel diambil dan kemudian dianalisa apakah ada kelainan genetik atau tidak. Dari segi etika hal ini tidak masalah, tapi melihat risikonya yang cukup besar, mungkin perlu dipertimbangkan. Dengan mengambil satu sel berisiko  karena bisa menyebabkan cacat bahkan kematian. Sedangkan pemeriksaan janin yang telah ditanam rahim melalui intrauterin, bila masih dini dan yakin bahwa ada kelainan  genetik atau penyakit yang membahayakan serta belum ada obatnya, dalam islam tidak apa-apa digugurkan. Tapi kalau dalam katolik jelas dilarang. “Pada pembuatan bayi tabung hal ini malah baik dilakukan, sehingga benar-benar dipilih yang gen-nya baik baru ditanam.“
Penelitian yang Menggunakan Materi Biologi
                Berbagai penelitian yang bertujuan mengetahui penyebab, perjalanan penyakit, bahkan pencarian pengobatan biasanya menggunakan materi biologi, seperti sel, spesimen biopsi, organ dan jaringan, sebagai sumber daya utama. Dengan teknologi modern pengetahuan yang dapat diperoleh dari penelitian materi biologi manusia amat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun teknologi itu sendiri menimbulkan permasalahan etika bagi peneliti, subyek penelitian dan keluarganya, komisi etik, dan masyarakat. Selain itu juga telah timbul keprihatinan tentang diskriminasi dan stigmatisasi yang mungkin timbul sebagai akibat bocornya kerahasiaan kedokteran.  
Masalah etik yang mungkin timbul adalah ; apakah materi biologi yang semula diperoleh untuk suatu tujuan tertentu, baik oleh peneliti maupun oleh penyumbang jaringan itu,  boleh dipakai untuk tujuan lain, dan bagaimana jika materi biologi itu dapat diidentifikasi asal usulnya atau dapat dikaitkan dengan data medik lainnya dari seseorang ? 
Menurut Tadjudin yang pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Biologi FKUI ini, identitas sampel yang digunakan ada yang diketahui karena memang perlu diketahui dan banyak yang tidak diketahui karena memang tidak perlu diketahui. Sebagian besar sampel yang terkumpul mungkin belum, bahkan tidak akan pernah dipakai untuk suatu penelitian, namun tersedianya sampel itu merupakan sumber daya ilmu pengetahuan yang amat bernilai bagi umat manusia. Selain itu, penelitian materi biologi manusia, bahkan yang sudah berumur ratusan tahun, dapat memberi keterangan bukan saja tentang individu tetapi juga tentang kelompok-kelompok, misalnya data epidemiologi.

Belum Ada Panduan Baku
Melihat perkembangan biomedik yang kian pesat tersebut, keberadaan bioetika dirasa penting untuk membatasi suatu penelitian dan penggunaan teknologi agar tidak menimbulkan hal yang merusak serta mengganggu derajat dan harkat kemanusiaan. Di Indonesia, hingga kini belum ada panduan baku bioetika disamping juga belum ada perundang-undangan yang mengatur. Tadjudin berpendapat, masalah etika itu spesifik untuk tiap kaum-kaum masyarakat. Misalnya umat Islam punya pandangan sendiri, sementara agama lain juga punya pandangan sendiri-sendiri.
“Namun kita memang perlu membuat suatu panduan baku agar bisa menghindari ekploitasi oleh negara lain. Misalnya saja, masalah kloning dan stem cell embrionik, bila Indonesia tidak punya panduan baku, takutnya akan terjadi eksodus ilmuan dari negara dimana penelitian tersebut jelas dilarang. Dan bila ketahuan oleh negara yang melarang kedua penelitian tersebut, kita bisa repot,“ ujar ayah dari Ainanur dan  Lisca Zafarayan ini menutup pembicaraan.
(Arnita)

Taken from : /rubrik/one_news_print.asp?IDNews=410 | 1369 hits




Kloning Manusia: Mengapa Amoral?
oleh: Romo William P. Saunders *
Diambil dari: http://www.indocell.net/yesaya/id1226.htm
Bagaimanakah seharusnya kita sebagai umat Katolik menanggapi segala pemberitaan mengenai Dolly si domba betina dan kloning,?
~ seorang pembaca di Arlington
Dolly si domba betina memang menjadi berita utama di media massa di seluruh dunia. Dr Ian Wilmut, seorang ilmuwan Skotlandia yang bertanggungjawab atas riset ilmiah dan teknik kloning ini, mengambil sebuah sel telur dari seekor domba betina, mengeluarkan nukleus (= inti sel) dengan segala DNAnya yang unik, dan lalu meleburkan sel telur dengan sebuah sel (dengan DNAnya sendiri) dari donor. Teknik ini menghasilkan seekor domba betina yang dinamai Dolly, yang secara genetik identik dengan donornya. Kemudian muncullah pertanyaan, “Jika ini dapat dilakukan pada hewan, mengapa tidak pada manusia?” Sementara kita mungkin memiliki teknologi “untuk melakukan” sesuatu, kita tidak harus memiliki mandat moral “untuk melakukan” sesuatu itu. Kita wajib berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran dasar. (Ajaran paling seksama dan mendalam mengenai masalah ini adalah “Hormat terhadap Hidup Manusia Tahap Dini dan Martabat Prokreasi” [Donum Vitae], yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tahun 1987 dengan persetujuan Paus Yohanes Paulus II.)
Kita patut senantiasa ingat dengan apa, atau tepatnya dengan siapa, kita berhadapan apabila kita berbicara mengenai reproduksi - yakni seorang anak. Gereja Katolik secara konsisten menegaskan bahwa seorang manusia wajib dihormati sebagai pribadi sejak dari saat awal pembuahan, yakni saat paling awal dari keberadaannya. Setiap pribadi diciptakan seturut gambar dan citra Allah, dan sebab itu memiliki martabat hakiki melampaui segala makhluk ciptaan lainnya. “Declaratio de abortu procurato” (= Pernyataan tentang Aborsi, 1974) memaklumkan, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula. Genetika modern memberikan peneguhan yang berharga kepada kejelasan yang sudah selalu ada…. Ia menunjukkan bahwa sejak saat pertama sudah ditetapkan, apa jadinya hidup ini: manusia, yakni manusia individual dengan sifat-sifat khas dan tertentu. Sejak pembuahan mulailah proses pertumbuhan hidup manusia yang mengagumkan; dan setiap kemampuannya membutuhkan waktu untuk berkembang dengan baik dan berfungsi” (No. 12-13). Di samping itu, kita percaya bahwa Tuhan yang Mahakuasa menciptakan dan menanamkan suatu jiwa yang abadi, yang sungguh memberikan kepada masing-masing kita identitas sebagai yang diciptakan seturut gambar dan citra-Nya.
Sebab itu, kita wajib menghormati seorang anak yang belum dilahirkan sebagai seorang pribadi yang hidupnya sakral dan yang hak-haknya wajib dilindungi. Seorang anak mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat untuk hidup, sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar. Seorang anak mempunyai hak untuk dihormati sebagai pribadi sejak dari saat pembuahan. Seorang anak mempunyai hak untuk menjadi “buah” tindakan khas kasih orangtuanya, yang terikat dalam perkawinan.
Paus Yohanes XXIII, dalam ensiklik “Mater et Magistra” memaklumkan, “Penyaluran hidup manusiawi merupakan buah tindakan antar-pribadi dan sadar, dan justru karena itu harus mematuhi hukum-hukum Allah yang kudus, tidak boleh dilanggar dan tidak dapat diubah; tidak seorang pun boleh mengabaikan atau melanggarnya.” Dan yang terakhir, seorang anak mempunyai hak untuk dilahirkan. Masing-masing dari kita memikul tanggung-jawab untuk membela hak-hak ini bagi anak yang tak berdaya. Janganlah pernah kita tergelincir ke dalam pemikiran bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan anak bagaimanapun caranya, atau bahwa seorang anak adalah bagaikan sebuah obyek kepemilikan (“Donum Vitae,” II,8).
Berdasarkan hak-hak seorang anak ini, Gereja menyampaikan ajaran moral berikut, yang secara istimewa membahas masalah kloning dan tindakan-tindakan sehubungan dengan teknik kloning:
·         Prosedur-prosedur yang dimaksudkan untuk intervensi pada warisan genetik seorang anak, yang tidak bersifat terapeutis, adalah salah secara moral. Upaya untuk memperbaiki suatu penyimpangan genetik, misalnya cystic fibrosis, secara moral diperkenankan, sementara memanipulasi struktur genetik untuk membuahkan manusia yang dipilih menurut jenis kelamin atau sifat-sifat lain yang ditentukan sebelumnya adalah salah.
Upaya untuk menghasilkan “pembiakan” manusia melalui kloning, pembelahan anak kembar (= fixio gemellaris) atau parthenogenesis di luar konteks perkawinan atau pasangan orangtua adalah amoral. Manipulasi-manipulasi ini melanggar martabat pribadi manusia dan menyerang integritas serta identitas manusia. (bdk. Donum Vitae, I,6.)
·         Segala pengadaan manusia demi kepentingan eksperimen, riset ilmiah, atau demi mendapatkan organ-organ tubuh adalah salah secara moral. Tindakan-tindakan yang demikian merendahkan derajat manusia ke sekedar material biologis yang dapat dibuang. (bdk. Donum Vitae, I,5.)
·         Riset atau penelitian medis macam apapun yang membahayakan kesehatan atau hidup seorang anak yang belum dilahirkan adalah salah secara moral. (bdk. Donum Vitae, I,5.)
Bahaya kloning adalah kita mudah kehilangan pandangan akan martabat manusia, dan kesakralan tindakan kasih suami-isteri dalam perkawinan. Kita terjerumus ke dalam suatu pandangan egois menciptakan kerajaan kita sendiri, dan bukannya berjuang demi hidup dalam kerajaan Allah. Ketika Dolly muncul dalam berita-berita utama, Wall Street Journal mencetak suatu artikel berjudul, “Siapakah yang Akan Meraup Laba dalam Terobosan Kloning?” Jawabnya adalah “perusahaan yang memiliki tekniknya.” Dari sudut pandang moneter murni, pasar organ tubuh akan menjadi kenyataan.
Sebagai contoh, mari kita renungkan suatu peristiwa yang telah lewat, yang terjadi sebelum masalah kloning ini: Pada tahun 1991, Anissa Ayala, 19 tahun, yang menderita leukemia, menerima transplantasi sumsum tulang dari saudarinya yang berusia 13 bulan, Marissa, yang dengan sengaja dikandung untuk menjadi donor sumsum tulang. Sementara masih dalam rahim, para dokter menganalisa jaringan tubuh Marissa guna menentukan apakah ia akan dapat menjadi seorang donor yang cocok bagi kakaknya. Pertanyaan moral yang mendasari tindakan ini meliputi, “Bagaimanakah jika jaringan tubuh Marissa tidak cocok dengan jaringan tubuh saudarinya? Apakah ia akan diaborsi, dan apakah kedua orangtuanya lalu akan berusaha untuk mengandung seorang donor lain yang sesuai?” Dr Robert Levine dari Yale University School of Medicine menyampaikan pendapatnya, “Menurut saya, apabila motif utama dari mengandung seorang anak adalah demi mendapatkan suatu jaringan atau organ tubuh, maka kita sudah sangat dekat dengan pandangan melihat makhluk baru ini sebagai suatu sarana bagi kepentingan yang lain.” Dengan kloning, moralitas menjadi semakin kabur, sebab kita dapat menghasilkan manusia lain seperti diri kita sendiri, mengambil organ tubuhnya (bahkan sementara ia masih dalam rahim atau dengan kelahiran parsial), dan kemudian membinasakan sisanya. Lagipula, mendapatkan organ dengan cara demikian hanya tinggal selangkah lagi saja dari kloning. Bagaimana dengan mengembangkan suatu ras manusia unggulan atau bahkan suatu balatentara unggulan?
Dilema iman lainnya menyangkut jiwa. Bahkan jika kita dapat mengkloning seorang manusia, kita tidak dapat “mengkloning” jiwa. Dua orang mungkin dapat identik secara genetik, namun demikian jiwa mereka menjadikan mereka unik, bahkan berbeda sama sekali dalam kepribadian. Kita juga patut bertanya, “Jika reproduksi direnggut dari sarana-sarana lazim seperti yang telah dirancangkan Tuhan, maka haruskah Tuhan menanamkan jiwa?” Mungkin kloning hanya akan menghasilkan humanoids [= makhluk serupa manusia] atau androids [= robot serupa manusia] - replika-replika manusia tanpa jiwa yang dapat diperbudak. Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini sendiri adalah bagaikan membuka kotak Pandora [= seorang perempuan dalam mitologi Yunani yang dikirim oleh dewa-dewa dengan




 

Rabu, 2009 Februari 11

Bank Sperma Para Pemenang Hadiah Nobel diambil dari: http://divansemesta.blogspot.com/2009/02/bank-sperma-para-pemenang-hadiah-nobel.html

Bank Sperma Para Pemenang Hadiah Nobel
Di California ada satu bank yang komoditasnya bukan uang, melainkan sperma para jenius. Termasuk di dalamnya para pemenang hadiah Nobel. Doron Blake, namanya. Ia memang pantas disebut bayi ajaib. Sebelum berumur dua tahun, ia sudah lancar berbicara. Ketika pas berusia dua tahun, majalah Newsweek memuat gambarnya sedang bermain piano. Bahkan dia juga sudah menguasai satu alat musik modern kegemarannya, Electronic Music Synthesizer.
Hebat, memang. Pendek kata ia memang seorang yang sangat cerdas. Ibunya seorang doktor psikologi. Namanya Afton Blake. IQ-nya 130+ sebelum kawin. Sekali lagi jangan kaget, belum kawin dan tidak pernah “berhubungan badan” dengan lelaki manapun. Lho, kalau begitu siapa ayahnya?
Doron William Blake adalah anak kedua yang lahir berkat jasa “bank sperma Nobel” –nama populer sebuah badan yang sebenarnya bernama Repository for Germinal Choise. Ayahnya adalah sperma dengan kode nomor 28, berasal dari seorang jenius di bidang komputer dan musik klasik.
Badan tersebut dibentuk tahun 1980 di Escondido, California oleh Robert Graham, si kakek berumur 73 tahun. Sperma ilmuwan-ilmuwan, para teknolog dan para pemegang hadiah Nobel dikumpulkan, lalu disimpan dalam cairan Nitrogen dengan suhu rendah. Dijamin awet dan tidak rusak. Sperma tersebut dapat disimpan selama mungkin, bahkan kalau perlu melebihi umur sang donor itu sendiri. Buat apa? Tentunya, untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada wanita-wanita yang berhasrat punya anak yang “super” seperti “bapaknya”.
Sudah barang tentu, tidak setiap wanita diperbolehkan mengandung bibit unggul tersebut. Ada persyaratan khusus. Dalam hal ini Nona Afton Blake ternyata memenuhi semua persyaratan. Fisik, mental, dan intelegensia, ia unggul. Dengan begitu ia bisa “dibuahi” dengan bibit sperma unggul.
Dewasa ini sudah ada beberapa orang pemenang hadiah Nobel yang menyumbangkan sperma mereka. Salah satunya William Shockley, IQ 129, ahli fisika yang menggondol hadiah Nobel tahun 1956 berkat jasanya menciptakan transistor. Para penyumbang lain tak kalah hebatnya. IQ-nya antara 140 sampai 182. Dan perlu anda ketahui, sudah lebih dari 20 anak dilahirkan dengan cara ini. Sang bayi ajaib, Doron Blake, lahir berkat majunya teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination /AI”. Dalam teknik ini, air mani (sperma) disuntikkan ke dalam atau ke dekat leher rahim sang wanita. Maksudnya agar bisa berlangsung “pembuahan” secara alami.
Konon kabarnya, proses AI ini sebetulnya tidak sulit. Sederhana. Bahkan sebentar lagi, peralatan “kit inseminasi buatan” ini sudah beredar di pasaran. Tinggal beli, pasang, langsung jadi. Kini, dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank tabungan air mani. Dengan adanya bank sperma ini banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang isteri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami tersebut di bank. Beres. Bahkan sebetulnya, seorang gadispun bisa saja punya anak, sekalipun belum nikah. Nona Afton Blake, misalnya. Lepas dari persoalan apakah itu boleh atau tidak dalam norma-norma agama, secara biologis si gadis tersebut bisa mengandung bayi dari sperma yang “dibelinya” di bank sperma. Tentu dalam hal ini, ia terpaksa mengambil sperma lelaki lain, mungkin malah tidak dikenalnya…!
Program Superman. Bisa kita bayangkan, dalam beberapa tahun kemudian Doron Blake sudah mampu menguasai Matematika tingkat tinggi, berbicara banyak dalam berbagai bahasa, dan menggunakan komputer untuk menciptakan dan mengkomunikasikan berbagai macam pemikiran yang ada di balik tirai matanya yang biru.
Inilah yang menjadi salah satu sasaran dari program yang bernama eugenetik. Eugenetik (eugenics) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “persediaan yang baik”. Eugenik, ada juga yang menyebutnya Social Biology, yaitu studi tentang kemajuan manusia (peningkatan kualitas manusia) melalui pengertian-pengertian genetika. Ia merupakan salah satu cabang ilmu genetika yang memusatkan perhatian pada pertanyaan: “bagaimana menciptakan manusia yang memiliki ciri-ciri unggul tanpa cacat” atau dengan kata lain, menciptakan manusia super.
Francis Galton, saudara sepupu Darwin, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah eugenik melalui bukunya Inquiries Into Human Faculty, tahun 1883. Tetapi sebelumnya, sekalipun istilah ini belum diiperkenalkan, dia telah banyak melakukan penyelidikan. Bukunya yang pertama, Hereditary Genius, tahun 1869, mengetengahkan hasil studinya tentang manusia unggul (superman).
Galton berkesimpulan, “Akan menjadi sungguh-sungguh praktis untuk menghasilkan manusia unggul, dengan bakat (kemampuan) yang tinggi melalui perkawinan “bijaksana” selama beberapa generasi secara berturut-turut”. Usaha Galton itu ternyata menarik simpati banyak orang. Tak lama kemudian, di Inggris didirikan sebuah lembaga English Eugenics Society, tahun 1907. Di Amerika Serikat, beberapa tahun kemudian, 1926, berdiri pula American Eugenics Society. Bahkan NAZI Jerman pun pernah menggunakannya pada tahun 1930-an sampai 1940-an. Dan kini ia terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia, tanpa bisa dibendung. Kaum Pria Makin Tak Laku.
Dengan semakin majunya rekayasa genetika, rasanya tidak sulit untuk menghasilkan manusia-manusia super. Bahkan dalam jumlah besar sekalipun. Dengan teknik Cloning misalnya, akan bisa dilahirkan carbon copy individu tiruan yang bentuknya secara genetis persis sama. Lalu, tak susah lagi ‘kan menciptakan ratusan Einstein di masa yang akan datang?
“Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan bukan lagi sperma. Tapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika oreganisme dari mana ia diambil. Maka boleh jadi organisme (individu) yang dipilih justru bukan manusia.
Dalam hal manusia, sebelum kloning bisa dilakukan, telur wanita diambil dulu. Intinya kemudian dihancurkan (dengan zat kimia atau laser) dan kemudian ”dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang telah dibuahi itu kemudian dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti biasa. Hasilnya? Persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu.
Jadi ada kemungkinan, kalau mau, manusia akan bisa melahirkan anak monyet. Tapi tenang, itu masih jauh di masa depan. Satu teknik lain yang masih berhubungan dengan Cloning, tapi kelihatan lebih berpotensi diterapkan pada manusia adalah penyuburan satu telur matang dengan telur matang lainnya. Fusi (penggabungan) telur namanya. Jadi yang “kawin” itu ya cuma sel telur wanita itu saja, bukan orangnya. Kalau ini mulai dipraktekkan, maka di masa mendatang sudah barang tentu bisa tak diperlukan lagi bahan genetika (sperma) pria. Dan bayi yang dilahirkan pun akan selalu wanita. Yang lebih “gila” lagi, bahkan kedua sel telur itu, bisa diperoleh dari satu tubuh wanita itu saja. Hingga nantinya akan melahirkan bayi wanita yang secara turunan ya…darah dagingnya sendiri. Ah, mungkin kalau ini benar-benar terjadi, kaum pria barangkali hanya tinggal kenangan masa lalu. Kehadirannya sudah tak dibutuhkan lagi. Kaum pria makin nggak laku ya? Tapi ini masih belum apa-apa. Kini, orang mulai berpikir untuk menanam embrio (janin) pada rahim binatang, dan mengandungkannya. Sapi misalnya. Menurut T. Francoer, seorang embriolog terkenal, hal itu tidak sulit mempraktekkannya. Masalahnya, tinggal ada yang mau tidak? Kendati “kumpul kebo” memang ada, namun siapa sih yang mau lahir dari perut kerbau? Apa Yang Akan Terjadi?
“Biologi molekuler sebentar lagi akan meledak dari rahim laboratorium. Pengetahuan yang baru kita dapat tentang genetika memberikan kita kemampuan untuk mengotak-atik hereditas manusia dan memanipulasinya untuk menciptakan versi manusia yang sama sekali baru”, kata Alvin Toffler dalam bukunya, Future Shock. Dengan teknik Cloning kita bisa menciptakan manusia-manusia unggul, tanpa “kelemahan-kelemahan” fisik yang alami. Tapi harus diingat, kita bisa saja menciptakan manusia dengan kecerdasan Einstein, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa hasilnya bukan Hitler? Bukan mustahil, dengan teknik-teknik Cloning, nantinya cerita Boys from Brazil akan jadi kenyataan. Akan muncul Hitler-Hitler baru.
Begitulah, hanya dengan satu inti sel somatik saja, dapat dibuat satu turunan yang persis orang tuanya. Kalau masih boleh dibilang orang tua. Juga andaikata kita mampu membikin manusia dengan IQ 160, apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan berbahagia? Yang jelas ini bukan urusan manusia. Sampai di sini kita terpaksa merumuskan kembali kemanusiaan kita. Keyakinan kita mengenai kehidupan manusia dan apa artinya menjadi manusia secara individu ikut dirombak secara drastis. Masalah hukum dan etika yang timbul akibatnya, tak pelak lagi, teramat banyak dan pelik. Ya, tapi ini pulalah sulitnya. Banyak hal-hal yang sekarang masih dianggap biasa, tak ada masalah, di masa depan, perlu penegasan kembali. Apakah definisi orang tua, definisi hubungan orang tua dan anak? Kemudian apa perlunya lembaga perkawinan? Siapa yang akan bertanggung jawab secara moral maupun hukum atas anak-anak yang diciptakan secara “buatan” itu? Siapa orang tua sebenarnya yang berhak, dan siapa yang berhak untuk memutuskan masa depan anak itu, bila hubungan ibu-bapak tradisionil seperti kini telah menjadi kabur? Dan apa pula akibat psikologisnya bagi si anak, bila nanti setelah besar dia tahu bahwa dia cuma hasil penyuburan dari sperma donor dan telur donor (yang entah siapa yang punya), di dalam piring laboratorium lagi? Tanggung jawab masyarakat juga akan semakin pelik di masa depan. Dalam dunia yang sudah begini sarat, apakah hak untuk berreproduksi tetap tak akan diganggu gugat? Lebih parah lagi, bila anak-anak masa depan telah diberi hak lahir dengan fisik dan mental “sempurna”, apakah penciptaan anak secara biasa (hubungan suami isteri) akan dinomorduakan?
Dan ketika Alvin Toffler menanyakan kapan Cloning bisa dilakukan, seorang pemenang hadiah Nobel Joshua Lederberg menjawab, “Ini sudah bisa dilakukan pada amphibia. Dan jika sekali waktu seseorang sudah memiliki keberanian untuk mencobanya pada manusia, saya tak bisa membayangkannya. Tapi menurut perkiraan saya ini akan terjadi antara sekarang sampai 15 tahun lagi. Dalam 15 tahun ini”. Lederberg mengucapkannya sebelum tahun 1970, dan sekarang sudah lewat 15 tahun. Masih belum ada yang berani mencobanya. Tapi kan tidak ada jaminan tidak ada manusia yang tidak akan mencobanya.

Reaksi Vatikan dan Islam.
Beberapa tahun lalu, Vatikan mengeluarkan sebuah dokumen Gereja Katolik terpenting soal ini. Dokumen yang berjudul Instruksi Tentang Penghargaan Bagi Hidup Manusia Pada Asal Mulanya Dan Tentang Martabat Orang Tua itu dengan keras mengecam metode “bayi tabung”, inseminasi buatan, seleksi jenis kelamin anak, dan “ibu titipan”. “Makhluk yang terkandung itu haruslah buah dari kasih orang tua. Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Hal itu berarti merendahkannya menjadi semata-mata objek teknologi ilmu pengetahuan”, tegas dokumen itu.
Dokumen itu juga menghimbau pemerintah di seluruh dunia agar dengan keras melarang pembuahan buatan itu, atau eksperimen atas embrio hidup. Selanjutnya ditegaskan bahwa perkembangan teknologi biologi dewasa ini menuntut intervensi para pejabat politik dan pembuat hukum, karena pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan, “Apa yang secara teknik mungkin, bukan berarti secara moral dibolehkan”.
Namun, ternyata banyak suara-suara sumbang menanggapi isi dokumen tersebut, terutama para dokter Katolik. Seperti yang dikatakan dr. Robert J. White, penasihat Paus Yohanes Paulus II bidang etika medis. “Dokumen tersebut ultra konservatif”, katanya. Ia ragu dokumen itu akan ditaati pasangan-pasangan Katolik mandul yang ingin punya anak. Rupanya keraguan itu bukan tanpa alasan. Hal itu dibuktikan dengan tanggapan-tanggapan keras yang kemudian muncul. Salah satunya dari seorang nyonya Heidi Plummer di San Fransisco. “Katolik atau bukan”, katanya, “kami yang sudah 10 tahun menantikan anak akan menggunakan segala cara dan sarana untuk menghasilkan anak sendiri dari rahim saya ini”. “Saya tidak akan menyerah pada peraturan itu! John dan saya sudah bertekad bulat untuk mendapat anak sendiri. Kami sudah sejak lama menantikan teknologi (bayi tabung) itu”. Meskipun perkembangan teknologi modern ini masih belum begitu menyebar di negara-negara berpenduduk Muslim termasuk Indonesia, namun tentunya kita mesti memikirkan masalah ini sebelum terlambat dan keadaannya menjadi runyam. Jawaban resmi baru muncul dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). OKI yang berpusat di Jeddah, Indonesia juga menjadi salah satu anggotanya, beberapa tahun yang lalu telah menelurkan fatwa tentang masalah ini. Meski begitu, fatwa ini masih belum menjawab semua persoalan yang timbul akibat rekayasa genetika. Memang masih banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Namun demikian ia sangat penting.
Dalam fatwa itu ditegaskan bahwa hanya ada dua cara inseminasi buatan yang diperbolehkan oleh Islam. Pertama, sperma diambil dari suami, dan ovum dari isteri; pembuahan boleh di luar rahim, tapi kemudian “buahnya” harus “ditanam” dalam rahim sang isteri. Kedua, semua benih diambil kemudian disuntikkan ke tempat yang sesuai dari vagina atau rahim isterinya untuk memungkinkan terjadinya pembuahan di dalam rahim.
Fatwa ini tampaknya bersikap modernis namun tetap tegas dalam batas-batas kewajaran. Dalam hal ini jelas yang menjadi patokan adalah hubungan-resmi pernikahan. Apapun alasannya, selain jalan pernikahan tidak bisa dimaafkan. Ia akan tetap dicap zina.
Pernikahan menurut Islam amat penting lagi suci. Ia bukan hubungan sembarangan dan serampangan. Lembaga pernikahan itu untuk menjaga kejelasan, kepastian dan keabsahan turunan, yang pada gilirannya memelihara harkat dan martabat manusia sesuai dengan hakikat sendiri sebagai “abdi” (hamba) dan “khalifah” (deputy) Allah. Selain itu manusia juga terikat oleh nilai dan norma ilahi dalam segala hubungan mereka. Baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, ataupun dengan alam lingkungannya. Beda dengan hewan dan tumbuhan. Karena itu manusia harus menikah dulu sebelum menempuh “perkawinan”. Tak bisa disangkal, perkembangan-perkembangan itu memang menunjukkan kemampuan manusia yang semakin tinggi. Tapi teknologi memang begitu. Bermuka dua. Ia bisa ramah dan tentunya juga bisa tak ramah. Tergantung kita, mau dibuat apa. Dia bisa menjadikan kita makhluk rendah dan nista, kalau tidak kita gunakan pada tempatnya. Sebaliknya dia bisa menjunjung harkat fitrah kemanusiaan kita, sebagai makhluk beradab, kalau kita gunakan berlandas norma-norma mulia.
Sayangnya kini kepandaian itu dihadapkan pada tantangan yang teramat mahal hingga bisa jadi akan meruntuhkan sendi-sendi moral. Di sinilah umat beragama ditantang untuk memberikan sumbangannya bagi kegiatan keilmuan sebelum terjadi bencana kemanusiaan nantinya. Akankah kita biarkan dunia ini “binasa” sebelum waktunya? Tentu tidak, bukan?
----------------------
Dicopet dari tulisan Nilna Iqbal
Divan Semesta

Ketika Rekayasa Genetika
“Menghiasi” Peradaban Modern
Kamis, 1 November, 2007 oleh Arli Aditya Parikesit

Halo, pencari Google! Jika artikel ini berguna bagi anda, mungkin anda mau untuk berlangganan RSS Feed kami untuk selalu menerima artikel-artikel terbaru dari kami!
You were searching for "genetika". See posts relating to your search »
Tikus Rekayasa Tidak Lagi Takut dengan Kucing
Kisah kocak Tom dan Jerry bisa jadi hanya akan jadi sejarah. Sebab ilmuwan Jepang telah mampu membuat agar tikus tak...
Seluk Beluk di Balik Rambut Uban
JAKARTA, Netsains - Uban alias rambut putih bagi sebagian orang cukup mengganggu. Maka ada semir rambut demi menutupi uban. Faktor...
Seluk Beluk di Balik Rambut Uban
JAKARTA, Netsains - Uban alias rambut putih bagi sebagian orang cukup mengganggu. Maka ada semir rambut demi menutupi uban. Faktor...
Bikin Sperma Dari Embrio Yuk!
“Biologi molekuler sebentar lagi akan meledak dari rahim laboratorium. Pengetahuan yang baru kita dapat tentang genetika memberikan kita kemampuan untuk...
Ketika Rekayasa Genetika “Menghiasi” Peradaban Modern
Mengakali kondisi tubuh manusia dengan sains? Bukan hal baru memang. Bahkan sejak zaman NAZI pun, rekayasa genetika sudah dilakukan. Bagaimana...
Mengakali kondisi tubuh manusia dengan sains? Bukan hal baru memang. Bahkan sejak zaman NAZI pun, rekayasa genetika sudah dilakukan. Bagaimana kelak wajah dunia modern dengan teknologi semacam ini? Bagian pertama dari dua tulisan.
Eugenika adalah metode perbaikan genetik manusia melalui mekanisme seleksi buatan. Salah satu aplikasi dari eugenika adalah sterilisasi terhadap kelompok penderita kelainan genetik. Sterilisasi dilakukan untuk mencegah mereka memiliki keturunan yang terbelakang. Keluarga Berencana (KB) adalah versi eugenika yang telah diperhalus. Aplikasi yang paling ekstrim dari eugenika adalah eksekusi mati kepada penderita keterbelakang mental dan tahanan dari ras yang dianggap “tidak bersih”. Kebijakan ini dilakukan untuk menjaga populasi tetap bebas dari gen-gen yang tidak baik. Ide ini menjadi penting pada awal abad ke 20, dan memiliki daya tarik yang besar selama perang dunia II. Adolf Hitler dan Partai Nazi yang ia pimpin adalah propagandis eugenika yang utama. Salah satu dari tujuan utama Hitler adalah pemurnian ras Arya (Jerman) dari gen ras-ras lain yang dianggap “tidak bersih”.
Menurut teori evolusi, yang dikembangkan oleh Charles Darwin di tahun 1859, individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya adalah lebih mampu untuk meninggalkan jumlah keturunan yang lebih banyak. Bagaimanapun, individu yang kurang mampu beradaptasi, meninggalkan keturunan yang lebih sedikit. Oleh sebab itu, selama banyak generasi, gen dari individu yang kurang mampu beradaptasi atau yang inferior akan secara gradual dihilangkan dari populasi. Darwin menamakan proses ini sebagai seleksi alamiah. Teori Darwin akan sangat mempengaruhi para pendukung eugenika.
Penggunaan pengobatan dan peningkatan prosedurnya dalam beberapa abad terakhir ini menyebabkan manusia dapat mengendalikan seleksi alam. Contoh klasik adalah operasi Caesar untuk kelahiran bayi. Wanita yang seharusnya meninggal akibat tidak mampu melahirkan secara normal, sekarang dapat memiliki keturunan. Maka dari itu, gen untuk bentuk tubuh yang mencegah kelahiran normal tetap ada di populasi. Seleksi alam untuk trait (sifat) ini tetap ada pada populasi pribumi asli yang tidak memiliki akses pada pengobatan modern, namun ini hanyalah salah satu perkecualian. Dalam beberapa hal, orang yang kurang mampu beradaptasi, dengan fisik yang lemah dan genetik yang membawa penyakit, dan seterusnya, tetap dapat memiliki keturunan dengan pertolongan dari pengobatan modern. Berapa banyak dari kita yang tidak akan ada bersama kita, bila sumber pengobatan tidak ada?
Gen Buruk
Pendukung dari eugenika berargumentasi, bahwa manusia mengakumulasikan gen buruk karena manusia memiliki seleksi alam yang lambat. Alasan mereka yang lain adalah, manusia harus memiliki lisensi untuk berbagai aktivitas, seperti menyetir, berburu, dan memancing, namun tidak untuk melahirkan. Maka itu, menurut mereka lagi, pemerintah harus mengkontrol proses melahirkan juga. Di China dan India, pemerintah mengatur pertumbuhan populasi. Ini adalah kendali kuantitatif, bukan kualitatif. Beberapa orang berargumen, bahwa ini adalah diskriminasi seksual di kedua negara itu, dan laki-laki lebih disukai karena mereka bisa memberikan penghasilan yang lebih besar bagi keluarga mereka.
Pada 20 tahun berikutnya dari sekarang, akan terjadi banyak perubahan pada perilaku manusia, dan seseorang dapat membayangkan bahwa revolusi yang akan mengubah dunia. Membandingkan dunia sekarang dan 50 tahun yang lampau, tidak ada seorangpun yang berpikir bahwa eugenika akan menjadi isu lagi. Beberapa dari kejahatan kemanusiaan yang paling mengerikan dilakukan atas nama pemurnian ras Arya. Sampai 1945, eugenika diajarkan di berbagai universitas top di seluruh dunia, dan kewajiban mensterilisasi populasi yang inferior adalah cukup umum pada beberapa negara. Ada laporan dari seterilisasi terhadap 20.000 orang di Amerika Serikat, 45.000 di Inggris, dan 250.000 di Jerman pada paruh pertama abad ke 20. Eugenika mengubah opini publik untuk melawan intervensi pemerintah pada pilihan reproduksi warga negara, dan hari ini, kewajiban sterilisasi hanya bisa diterima oleh pikiran para pendukung eugenika fanatik. Bagaimanapun, dengan dunia yang mulai mengalami overpopulasi dan sumber daya alam yang semakin menipis, banyak orang yang takut bahwa kontrol populasi menjadi kenyataan lagi.
Teknologi tes genetika telah memungkinkan mendeteksi penyakit keturunan yang diderita oleh janin, jauh sebelum bayi itu dilahirkan. Uji amniosentesis memungkinkan dokter untuk mengetahui kelainan genetik pada janin dengan mengambil sampel cairan amnion pada rahim ibu. Selanjutnya, cairan amnion akan diuji dengan serangkaian tes kedokteran. Tes genetik telah semakin rutin digunakan di negara maju dengan uji amniosentesis. Penggunaan tes tersebut ditakuti akan menyebabkan gelombang baru sterilisasi dan aborsi akan terjadi. Aborsi yang berbasis tes genetika sudah terjadi di negara yang melegalisasinya.
Bagaimanapun, apakah tindakan yang tepat untuk mendiskriminasi penderita kelainan genetik, walaupun ia masih di kandungan? Bukankan hidup ini terlalu berharga? Dengan masa depan yang tidak jelas kedepan, kelihatannya kesempatan untuk melihat bahwa tes genetika dan bentuk baru dari reproduksi manusia akan menjadi bagian dari masyarakat dari sekarang. Pada skenario ini, alternatif terbaik kelihatannya membawa kekuatan dari nilai-nilai keluarga, moral, dan agama. Diperlukan suatu dialog dua arah untuk mendapatkan pemahaman secara utuh mengenai isu eugenika. Bagaimana jika eugenika dikaitkan dengan aborsi? Tunggu kelanjutannya dalam tulisan kedua yang akan segera menyusul.


[1] Ensiklopedi Indonesia jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1980), hlm. 1104; bdk. Benny Phang, O.Carm, dalam “http://theouiosoter.blogspot.com/2008/01/merekayasa-generasi-penerus.html”, 28-02-09