Entri Populer

Selasa, 20 Maret 2012

FILSAFAT TIMUR


MANUSIA DALAM PANDANGAN BUDHISME

            “Keunikan sesama sebagai pribadi yang hadir di depanku dengan wajah yang telanjang, saya harus takluk kepadanya dengan penuh hormat. Wajah yang telanjang itu mengatakan kepadaku jangan membunuh saya, terimalah aku apa adanya! Saya harus taat  kepada keunikan sesama”
Setiap agama mempunyai cara pandang dan pola pikir yang berbeda. Pada umumnya setiap agama mengajarkan tentang kebenaran dan kebaikan. Tanpa kedua hal ini suatu agama tidak akan pernah bertahan dalam perkembangan zaman. Agama merupakan suatu pegangan hidup manusia untuk mewujudkan hakekat diri yang paling dalam. Melalui agama manusia dapat menemukan jati dirinya.
Dunia Timur adalah tempat asal mula agama-agama besar seperti: agama Hindu, Budha, Islam, aliran confucionis dan bahkan agama Kristen. Cara hidup dan pola pikir dari agama-agama Timur sangat berbeda. Yang khas dan dominan dari agama-agama Timur terdapat pada manusia Timur.
            Kenyataan, bangsa-bangsa Timur barbeda satu dengan yang lain menurut geografisnya dan mungkin juga menurut cara hidup dan pola pikir. Untuk itu kita perlu mengetahui letak kesamaan atau kemiripan dalam cara pikir dan pola hidup yang menonjol dan yang dominan pada bangsa timur itu. Bertolak dari hal tersebut di atas maka kita dapat melontarkan pertanyaan “siapa manusia timur itu, apa yang dimaksud dengan cara hidup dan cara pikir yang berbeda itu”
            Manusia Timur itu meliputi banyak bangsa dengan cara hidup dan pola pikir masing-masing. Mulai dari masyarakat yang arkhais sampai dengan sistem-sistem agama yang sangat kompleks dan sangat tinggi. Cara hidup dan pola pikir yang dominan misalnya: bahwa manusia hanya dapat dipikirkan bila dilihat dari kaca mata kehidupan barsama. Ia dapat bernilai dan berarti apabila ia melibatkan diri ke dalam kehidupan bersama yang stabil, yang utuh dan harmonis. Ia menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia berpikir dan hidup secara kolektif, sosial bersama dengan manusia lain. karena itu ia selalu barusaha menjaga hubungan baik dengan seluruh anggota yang terlibat di dalam kebersamaan sehingga keselarasan, ketenangan dan keharmonisan terlaksana dan terjamin[1]. Dengan demikian kita dapat melihan bahwa yang diutamakan ialah kepercayaan dan tindakan yang tepat, karya amal dan belas kasih menurut Budhisme ialah hubungan sosial semua manusia adalah sama. Persaudaraan sangat ditekankan. Hidup bersama dan saling menolong, gotong-royong sangat dipentingkan. Malahan aliran Budhisme sangat menentang tentang pembunuhan binatang, termasuk binatang yang paling sederhana. Pemikiran kebersamaan ini, bukan terhadap manusia saja, melainkan juga terhadap makluk duniawi yang lain. kepercayaan inilah yang mengarahkan pikiran dan hidup mereka kepada satu harmoni dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.[2]

Metode filsafat Timur
            Konsep utama filsafat Timur adalah kehidupan manusia sendiri dan falsafah dimanfaatkan sebagai instrumen yang mempergampang kebutuhan maanusia. Konsep falsafah ini merupakan suatu kontras dengan konsepsi falsafah barat, terutama dalam hal proses pemikiran dan norma-norma. Timur lebih berorientasi pada aspek yang luas dan lebar, mencakup keseluruhan, berpegang pada yang konkrit dan memperhatikan pengalaman-pengalaman manusia. Artinya bahwa seorang filsuf tidak harus menolak alasan-alasan dan sebab-sebab tapi ia harus menerima bahwa suatu pemikiran baru baik dan efektif hanya karena ada suatu seri pengelaman yang tentu. Selanjutnya ia harus di bantu oleh metode-metode lain yang membuka aspek pengalaman tadi. Misalnya oleh kitab-kitab kesenian dan intuisi.[3]
            Dikatakan sebagai filsafat timur karena ada filsafat barat. Sebelumnya filsafat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan. Namun dalam perkembangan zaman, orang mengartikannya sebagai suatu pola pikir yang logis dan sistematis. Hal yang membedakan filsafat timur dengan filsafat barat ialah filsafat timur lebih bersifat samar, tanpa perbedaan, tidak berdeterminasi, absolud, ruang abstrak dan dengan isi yang bermutu tanpa uraian yang perlu. Dalam hal ini kita harus menerima bahwa sebenarnya sifat-sifat dan unsur pemikiran timur dan barat tidak merupakan dua kutub yang bertentangan tepapi mereka harus saling melengkapi, mengisi dan bersama-sama membentuk pandangan yang konkrit mengenai timur dan barat.[4] Manusia barat mengunakan penalaran deduktif maka manusia timur merasa bahwa penalaran semacam itu tidak berguna  karena deduksi tidak dapat menyatakan sesuatu yang langsung dialami.
            Dalam perjalanan hidup manusia ada saatnya manusia merasa bahagia, ada saatnya manusia merasa tidak tahu mau kemana arah jalan hidupnya. Ada saatnya manusia merasa diri di tinggalkan oleh Allah. ada saatnya ia merasa Tuhan itu dekat, pada saat yang lain manusia bertanya-tanya dan ragu. Dalam pergaulan dengan sesama, ada saatnya manusia merasa gembira dan senang, tapi ada saatnya manusia acuh tak acuh bahkan merasa benci. Manusia dalam hidupnya selalu mengucapkan kata-kata yang indah tentang kematian namun manusia takut akan kematian. Semua pengalaman manusia adalah suatu fenomena hidup yang harus diterima dengan penuh hati.  

Manusia menurut Budhisme
            “Hai rahib, inilah kebenaran tentang penderitaan, kelahiran adalah penderitaan dipersatukan dengan orang yang tidak disukai oleh penderitaan, dipisahkan dari orang yang dikasihi adalah pnderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan, dengan singkat, kelima belenggu yang membelenggu kepada dunia ini adalah penderitaan.[5]
Buddhisme setuju bahwa keselamatan manusia dusta belaka oleh dirinya sendiri, dan bahwa Buddha dan dharma (“agama, kebenaran, dan hidup”) yang mana ia hanya dapat menyatakan jalan pikirannya. Itulah individu manusia dalam dirinya sendiri yang adalah akhir untuk mempertanggungjawabkan keselamatannya
Untuk memulai tentang gambaran manusia menurut Budhisme maka kita perlu melihat empat kebenaran suci dan besar yang pernah dikemukakan oleh Sakyamuni dalam khotbahnya yang cukup berpengaruh. Keempat kebenaran suci itu[6]:
  1. Segala sesuatu pada dasarnya merupakan sengsara. Segala sesuatu yang bereksistensi pada hakekatnya akan mengalami kesengsaraan. Apabila kita merenungkan kebenaran yang pertama ini, kita akan menemukan bagaimana Budha mengajarkan tentang manusia. Dari ajarannya tentang sengsara kita akan menemui manusia sebagai makluk yang tidak berdaya apa-apa, kecil dan penuh sengsara. Segala unsur kehidupan dalam manusia merupakan kesengsaraan
  2. Titik pangkal kesengsaraan itu ialah keinginan atau hasrat yang dimiliki oleh manusia. Perbuatan-perbuatan dibangkitkan oleh keinginan dan hasrat
  3. Yang ketiga pada dasarnya merupakan suatu pertanyaan iman ia merupakan dogma satu-satunya Budhisme. Ia berada di atas kematian atau dengan kata lain ia adalah nirwana atau ketidak matian karena ia merupakan suatu kemungkinan untuk meloloskan diri dari bentuk-bentuk eksistensial.
  4. Bagain ini merupakan suatu metode untuk sampai pada apa yang sering disebut sebagai nirwana. Ia adalah jalan moral dan mistik.
Dalam sanskrit hal ini dinyatakan dengan “Oepadanaskandka” yang dapat diartikan sebagai fenomen-fenomen atau segala sesuatu dari pihak manusia merupakan obyek-obyek keterikatan atau kelekatan hati. Obyek keinginan yang dianggap diri sendiri atau kita sadari sebagai sifat menonjol pada Budhisme merupakan suatu metode yang fiktif belaka. Mereka selalu ingin melihat hanya fenomen-fenomen yang langsung dirasakan dan di tangagap. Jika manusia mengenal diri ia langsung melihat suatu ketubuhan, sesudah itu ia menanggap pengertian, keinginan, hasrat, dan pengetahuan.[7]
      Budhisme mengajarkan bahwa segala sesuatu berlangsung terus-menerus sehingga segala sepengetahuan manusia selalu salah dan tidak tepat. Kehidupan itu pada dasarnya samsara akibat ketidak tahuan manusia maka kehidupan itu juga tidak pasti. Melalui panca indera manusia menganal segala sesuatu namun pengenalan itu tidak pasti dan salah. Sebab hal itu hanya khayalan yang berubah-ubah.
Pada dasarnya manusia ditanggapi dengan pandangan yang negatif atas situasi hidupnya. Yang diibaratkan sebagai suatu lingkaran setan yang tidak diketahui sebabnya. Oleh Budhisme lingkaran itu ingin diputuskan agar mencapai titik pencerahan dan sekaligus mengakhiri eksistensi manusia dalam penderitaan.
Ajaran Buddha primitif tidak mencoba menafsirkan pengalaman dari keabadian sebagaimana yang dilakukan sekolah filsafat Hindu: agaknya Buddha digambarkan sebagai ilmu fisik dari jiwa manusia. Ia dengan tegas tidak setuju dengan metafisika; dan semua akhir dari diskusi ini memunculkan pertanyaan apakah kebebasan itu nyata, ia membandingkannya pada fisikiawan dan manusia yang terluka. Jika manusia terluka, ia katakan datang untuk memberikan pertolongan padamu, akankah kamu memintanya pertama-tama yang telah menembakkan anak panah atau akankah kamu mengembalikan anak panah itu dan mengikat lukanya? Jelas kamu akan melakukannya terlambat. Barulah kemudian, seorang Buddha menjadi tahu bahwa seluruh dunia merasa sakit sebab hal itu fana dan dapat menemukan suatu keadaan yang tidak abadi di mana-mana, ia akan duduk merencanakan obat untuk luka itu- ia akan jatuh pada praktek bisnis dari unjuk kebolehan manusia yang mana nirvana dapat digapai. Pada “penerangan”nya, ia telah mengalami kebahagiaan nirvana, dan hal itu telah menolongnya untuk menolong yang lain untuk melintasi cobaan yang eksistensinya fana, lebih jauh kebibir pantai yang mana kebahagiaan terpenuhi.[8]
Di sini ada pertentangan antara teori Buddhisme dan praktek ajaran Buddha tak pernah dapat memecahkannya. Analisis Buddha tentang adanya manusia, masuk dalam 5 (lima) samkaras atau kesatuan semua bagian/lapisan: tubuh, perasaan, pikiran, nafsu-nafsu (senang, benci, suka, bijak dsb) dan sifat berhati-hati. Kombinasi dari kebiasaan ini dipertimbangkan untuk mengkonstitusikan “diri” - apa yang Thomas Merton dan yang lain telah menyebutnya diri “empirik”. Menurut ajaran Buddha ini adalah kesalahan yang diam: tak seorang pun atau tidak juga dari kombinasi ini dari mereka mengkonstitusikan diri. Tubuh, pikiran dan jiwa tak berhenti berubah dan tak ada dasar dalam adanya manusia yang mengkonstitusikan diri: segala sesuatu di dunia ini tidak memiliki esensi, segala sesuatu itu berubah terus. Jika ini sungguh nyata maka, kemudian seseorang mencari jawaban mengapa Buddha harus betul-betul mempertimbangkan penyelamatan dari substansi terkecil ciptaan-ciptaan sehingga sangat berguna. Waktu dan perlawanan perbandingannya bagi mereka itu dipertentangkan; tetapi mengapa, seseorang tidak dapat  bertanya , tidakkah seseorang telah melihat seluruh dunia sebagai kekosongan substansi, yang tidak melepaskan dirinya dari hal itu dan yang telah memasuki suasana keabadian, masih mengamati dirinya dengan susunan dan ciptaan yang tidak permanen yang tidak terdapat lagi persamaan menjelang dua menit terakhir. Kelihatannya tidak terjawab pertanyaan ini, kecuali kita dipersiapkan untuk menerima teori bahwa Budha mengakui eksistensi dari diri yang transenden agaknya pada tataran Samkhya-Yoga. Para sarjana telah dikhususkan enggan mengakui ini, dan ini tampaknya aneh, sebab semua rentetan pesan pada awal Kanon Buddha yang mana murid-murid Buddha telah menceritakan bahwa untuk menemukan “diri”, mereka mengungsikan diri dan diri itu disebut mencapai nirvana. Situasi ini mungkin dikatakan pada bagian tedahulu, yang disebut juga brahma-bhuta, “menjadi Brahman”, tetapi untuk Buddhisme Brahman bukan merupakan prinsip alam semesta tetapi realisasi jiwa sederhana dari dirinya sendiri sebagai pemilik keabadian dan dimensi waktu yang hilang.
Perbedaan mendasar antara ajaran Budha dengan agama wahyu ialah bahwa kebenaran, pencerahan atau keselamatan dapat dicapai dengan usaha manusia sendiri tanpa pertolongan orang lain. Budha tidak sama dengan agama wahyu yang selalu mengutamakan keesaan Tujan yang turut dalam keselamatan manusia. Oleh sebab itu Budha sering dipandang sebagai aliran agama yang ateis, karena tidak pernah menunjukan keesaan Tuhan.[9]

Tubuh Menurut Budhisme.
Dalam ajaran tentang tubuh manusia Budha menandaskan bahwa tubuh dapat dilihat dan ditangkap dalam berbagai benda yang kelihatan kepada manusia. Dalam manusia terdapat unsur-unsur tertentu dan tetap, unsur yang mengalir dan cair, unsur yang memanaskan, unsur gas. Hal ini mendorong manusia untuk menerima bahwa dalam diri manusia terdapat empat unsur yang besar dan berpengaruh yakni air, tanah, api, dan udara/angin. Selanjutnya budha menandaskan bahwa dalam dri manusia bukan hanya terdapat empat unsur tersebut tetapi masih ada unsur lain yang disebut sebagai kelima indera: mata, telinga, hidung lidah dan peraba. Fenomen-fenomen ini dialami manusia dan menyatakan diri secara mekanis. Selanjutnya manusia juga bila dilihat dari pendangan psikologis masih terdapat suatu unsur yang ada dalam diri manusia yakni unsur pengertian sebab manusia bukan hanya menerima dan menganggap objek-objek inderawi material melainkan juga dari objek-objek itu  ia membentuk suatu gambaran pemikiran yang adalah gambaran rohani.
Akhirnya Budhisme mengambil suatu keputusan bahwa  enam indera dalam diri manusia itu saling terikat antara satu dengan yang lain. Tidak mungkin manusia dapat memisahkan satu dengan yang lain karena apa saja yang diketahui oleh manusia yang di tanggap manusia merupakan suatu hal esensial yang harus dialami oleh keenam indera tersebut.[10]

Manusia
      Tidak ada sesuatupun yang tidak berubah, maka  juga di dalam diri manusia tida ada sesuatu yang tetap berada dengan tidak berubah, tidak tidak ada jiwa yang kekal abadi. Manusia sebenarnya adalah suatu kelompok unsur-unsur jasmani dan rohani. Keadaan mental manusia sebenarnya adalah gejala-gejala belaka, seperti gejala-gejala yang lain. Di belakang gejala-gejala mental itu tiada tersembunyi suatu pribadi atau ego”[11]
      Pada bagian ini merupakan inti persoalan dasar manusia. Segala sesuatu yang sambil lalu dan sementara saja yang menyakitkan dan yang penuh sengsara adalah menetap, tetapin tidak pribadiah. Dan tidak mengenai manusia sendiri atau bukan miliknya; bukan milik kita dan adalah bukan kita-saya. Apakah ketubuhan itu saya? Jika saya katakan bahwa tubuh adalah “saya” maka saya akan katakan: karena saya adalah tubuh saya, maka saya ingin bahwa tubuh saya tidak boleh takluk kepada sengsara, ketuaan, kematian. Namun semuanya itu tidak mungkin sebab terhadap hal-hal itu saya tidak sanggup karena saya akan menjadi sakit, saya akan mati, walaupun saya ingin hidup terus. Dengan demikian tubuh bukan milik saya.[12]Tubuh itu suatu fenomen yang menyatakan diri kepada kita dan selanjutnya tanggapan itu akan hilang, jika tanggapan itu merupakan saya sendiri. Disitulah manusia akan mempertanyakan dirinya bahwa saiapakah aku ini.     


[1] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia Budaya Timur dan Barat ( Ledalero: STFTK, 1983), hlm. 159.

[2] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…, hlm. 162-163.

[3] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…, hlm. 170-173.
[4] Yoseph Solor Balela, Filsafat Timur (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2005), hlm. 1-2.

[5] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hml. 31.
[6] Mudji Sutrisno, Zen Buddhis:Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 9-11.

[7] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…, hlm. 204-205.
[8] Mudji Sutrisno, Zen Buddhis:Ketimuran…, hlm. 14-15.
[9] Mudji Sutrisno,  Buddhisme: Pengaruhnya dalam Abad Moderen (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 117
[10] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…, hlm. 208.
  
[11] Harun hadiwijono, Sari Filsafat…, hlm. 35. 
[12] Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…, hlm. 208-209. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar