MANUSIA DALAM PANDANGAN BUDHISME
“Keunikan
sesama sebagai pribadi yang hadir di depanku dengan wajah yang telanjang, saya
harus takluk kepadanya dengan penuh hormat. Wajah yang telanjang itu mengatakan
kepadaku jangan membunuh saya, terimalah aku apa adanya! Saya harus taat kepada keunikan sesama”
Setiap agama mempunyai cara pandang dan pola pikir yang berbeda. Pada
umumnya setiap agama mengajarkan tentang kebenaran dan kebaikan. Tanpa kedua
hal ini suatu agama tidak akan pernah bertahan dalam perkembangan zaman. Agama
merupakan suatu pegangan hidup manusia untuk mewujudkan hakekat diri yang
paling dalam. Melalui agama manusia dapat menemukan jati dirinya.
Dunia Timur adalah tempat asal mula agama-agama besar seperti: agama
Hindu, Budha, Islam, aliran confucionis dan bahkan agama Kristen. Cara hidup
dan pola pikir dari agama-agama Timur sangat berbeda. Yang khas dan dominan
dari agama-agama Timur terdapat pada manusia Timur.
Kenyataan, bangsa-bangsa Timur
barbeda satu dengan yang lain menurut geografisnya dan mungkin juga menurut
cara hidup dan pola pikir. Untuk itu kita perlu mengetahui letak kesamaan atau
kemiripan dalam cara pikir dan pola hidup yang menonjol dan yang dominan pada
bangsa timur itu. Bertolak dari hal tersebut di atas maka kita dapat
melontarkan pertanyaan “siapa manusia timur itu, apa yang dimaksud dengan cara
hidup dan cara pikir yang berbeda itu”
Manusia Timur itu meliputi banyak
bangsa dengan cara hidup dan pola pikir masing-masing. Mulai dari masyarakat
yang arkhais sampai dengan sistem-sistem agama yang sangat kompleks dan sangat
tinggi. Cara hidup dan pola pikir yang dominan misalnya: bahwa manusia hanya
dapat dipikirkan bila dilihat dari kaca mata kehidupan barsama. Ia dapat
bernilai dan berarti apabila ia melibatkan diri ke dalam kehidupan bersama yang
stabil, yang utuh dan harmonis. Ia menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia
berpikir dan hidup secara kolektif, sosial bersama dengan manusia lain. karena
itu ia selalu barusaha menjaga hubungan baik dengan seluruh anggota yang terlibat
di dalam kebersamaan sehingga keselarasan, ketenangan dan keharmonisan
terlaksana dan terjamin[1].
Dengan demikian kita dapat melihan bahwa yang diutamakan ialah kepercayaan dan
tindakan yang tepat, karya amal dan belas kasih menurut Budhisme ialah hubungan
sosial semua manusia adalah sama. Persaudaraan sangat ditekankan. Hidup bersama
dan saling menolong, gotong-royong sangat dipentingkan. Malahan aliran Budhisme
sangat menentang tentang pembunuhan binatang, termasuk binatang yang paling
sederhana. Pemikiran kebersamaan ini, bukan terhadap manusia saja, melainkan
juga terhadap makluk duniawi yang lain. kepercayaan inilah yang mengarahkan
pikiran dan hidup mereka kepada satu harmoni dengan sesama manusia dan dengan
alam semesta.[2]
Metode filsafat Timur
Konsep utama filsafat Timur adalah
kehidupan manusia sendiri dan falsafah dimanfaatkan sebagai instrumen yang
mempergampang kebutuhan maanusia. Konsep falsafah ini merupakan suatu kontras
dengan konsepsi falsafah barat, terutama dalam hal proses pemikiran dan
norma-norma. Timur lebih berorientasi pada aspek yang luas dan lebar, mencakup
keseluruhan, berpegang pada yang konkrit dan memperhatikan
pengalaman-pengalaman manusia. Artinya bahwa seorang filsuf tidak harus menolak
alasan-alasan dan sebab-sebab tapi ia harus menerima bahwa suatu pemikiran baru
baik dan efektif hanya karena ada suatu seri pengelaman yang tentu. Selanjutnya
ia harus di bantu oleh metode-metode lain yang membuka aspek pengalaman tadi.
Misalnya oleh kitab-kitab kesenian dan intuisi.[3]
Dikatakan sebagai filsafat timur
karena ada filsafat barat. Sebelumnya filsafat diartikan sebagai suatu
kebijaksanaan. Namun dalam perkembangan zaman, orang mengartikannya sebagai
suatu pola pikir yang logis dan sistematis. Hal yang membedakan filsafat timur
dengan filsafat barat ialah filsafat timur lebih bersifat samar, tanpa
perbedaan, tidak berdeterminasi, absolud, ruang abstrak dan dengan isi yang
bermutu tanpa uraian yang perlu. Dalam hal ini kita harus menerima bahwa
sebenarnya sifat-sifat dan unsur pemikiran timur dan barat tidak merupakan dua
kutub yang bertentangan tepapi mereka harus saling melengkapi, mengisi dan
bersama-sama membentuk pandangan yang konkrit mengenai timur dan barat.[4]
Manusia barat mengunakan penalaran deduktif maka manusia timur merasa bahwa
penalaran semacam itu tidak berguna
karena deduksi tidak dapat menyatakan sesuatu yang langsung dialami.
Dalam perjalanan hidup manusia ada
saatnya manusia merasa bahagia, ada saatnya manusia merasa tidak tahu mau
kemana arah jalan hidupnya. Ada
saatnya manusia merasa diri di tinggalkan oleh Allah. ada saatnya ia merasa
Tuhan itu dekat, pada saat yang lain manusia bertanya-tanya dan ragu. Dalam
pergaulan dengan sesama, ada saatnya manusia merasa gembira dan senang, tapi
ada saatnya manusia acuh tak acuh bahkan merasa benci. Manusia dalam hidupnya
selalu mengucapkan kata-kata yang indah tentang kematian namun manusia takut akan
kematian. Semua pengalaman manusia adalah suatu fenomena hidup yang harus
diterima dengan penuh hati.
Manusia menurut Budhisme
“Hai
rahib, inilah kebenaran tentang penderitaan, kelahiran adalah penderitaan
dipersatukan dengan orang yang tidak disukai oleh penderitaan, dipisahkan dari
orang yang dikasihi adalah pnderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan
adalah penderitaan, dengan singkat, kelima belenggu yang membelenggu kepada
dunia ini adalah penderitaan.[5]
Buddhisme setuju bahwa
keselamatan manusia dusta belaka oleh dirinya sendiri, dan bahwa Buddha dan dharma (“agama, kebenaran, dan hidup”)
yang mana ia hanya dapat menyatakan jalan pikirannya. Itulah individu manusia
dalam dirinya sendiri yang adalah akhir untuk mempertanggungjawabkan keselamatannya
Untuk memulai tentang gambaran manusia menurut Budhisme maka kita perlu
melihat empat kebenaran suci dan besar yang pernah dikemukakan oleh Sakyamuni
dalam khotbahnya yang cukup berpengaruh. Keempat kebenaran suci itu[6]:
- Segala sesuatu pada dasarnya merupakan sengsara. Segala sesuatu yang bereksistensi pada hakekatnya akan mengalami kesengsaraan. Apabila kita merenungkan kebenaran yang pertama ini, kita akan menemukan bagaimana Budha mengajarkan tentang manusia. Dari ajarannya tentang sengsara kita akan menemui manusia sebagai makluk yang tidak berdaya apa-apa, kecil dan penuh sengsara. Segala unsur kehidupan dalam manusia merupakan kesengsaraan
- Titik pangkal kesengsaraan itu ialah keinginan atau hasrat yang dimiliki oleh manusia. Perbuatan-perbuatan dibangkitkan oleh keinginan dan hasrat
- Yang ketiga pada dasarnya merupakan suatu pertanyaan iman ia merupakan dogma satu-satunya Budhisme. Ia berada di atas kematian atau dengan kata lain ia adalah nirwana atau ketidak matian karena ia merupakan suatu kemungkinan untuk meloloskan diri dari bentuk-bentuk eksistensial.
- Bagain ini merupakan suatu metode untuk sampai pada apa yang sering disebut sebagai nirwana. Ia adalah jalan moral dan mistik.
Dalam sanskrit hal ini dinyatakan dengan
“Oepadanaskandka” yang dapat diartikan sebagai fenomen-fenomen atau segala
sesuatu dari pihak manusia merupakan obyek-obyek keterikatan atau kelekatan
hati. Obyek keinginan yang dianggap diri sendiri atau kita sadari sebagai sifat
menonjol pada Budhisme merupakan suatu metode yang fiktif belaka. Mereka selalu
ingin melihat hanya fenomen-fenomen yang langsung dirasakan dan di tangagap.
Jika manusia mengenal diri ia langsung melihat suatu ketubuhan, sesudah itu ia
menanggap pengertian, keinginan, hasrat, dan pengetahuan.[7]
Budhisme mengajarkan bahwa
segala sesuatu berlangsung terus-menerus sehingga segala sepengetahuan manusia
selalu salah dan tidak tepat. Kehidupan itu pada dasarnya samsara akibat
ketidak tahuan manusia maka kehidupan itu juga tidak pasti. Melalui panca
indera manusia menganal segala sesuatu namun pengenalan itu tidak pasti dan
salah. Sebab hal itu hanya khayalan yang berubah-ubah.
Pada dasarnya manusia ditanggapi dengan pandangan yang
negatif atas situasi hidupnya. Yang diibaratkan sebagai suatu lingkaran setan
yang tidak diketahui sebabnya. Oleh Budhisme lingkaran itu ingin diputuskan
agar mencapai titik pencerahan dan sekaligus mengakhiri eksistensi manusia
dalam penderitaan.
Ajaran Buddha primitif tidak mencoba menafsirkan
pengalaman dari keabadian sebagaimana yang dilakukan sekolah filsafat Hindu:
agaknya Buddha digambarkan sebagai ilmu fisik dari jiwa manusia. Ia dengan
tegas tidak setuju dengan metafisika; dan semua akhir dari diskusi ini
memunculkan pertanyaan apakah kebebasan itu nyata, ia membandingkannya pada
fisikiawan dan manusia yang terluka. Jika manusia terluka, ia katakan datang
untuk memberikan pertolongan padamu, akankah kamu memintanya pertama-tama yang
telah menembakkan anak panah atau akankah kamu mengembalikan anak panah itu dan
mengikat lukanya? Jelas kamu akan melakukannya terlambat. Barulah kemudian,
seorang Buddha menjadi tahu bahwa seluruh dunia merasa sakit sebab hal itu fana
dan dapat menemukan suatu keadaan yang tidak abadi di mana-mana, ia akan duduk
merencanakan obat untuk luka itu- ia akan jatuh pada praktek bisnis dari unjuk
kebolehan manusia yang mana nirvana dapat
digapai. Pada “penerangan”nya, ia telah mengalami kebahagiaan nirvana, dan hal itu telah menolongnya
untuk menolong yang lain untuk melintasi cobaan yang eksistensinya fana, lebih
jauh kebibir pantai yang mana kebahagiaan terpenuhi.[8]
Di sini ada
pertentangan antara teori Buddhisme dan praktek ajaran Buddha tak pernah dapat
memecahkannya. Analisis Buddha tentang adanya manusia, masuk dalam 5 (lima) samkaras atau kesatuan semua
bagian/lapisan: tubuh, perasaan, pikiran, nafsu-nafsu (senang, benci, suka,
bijak dsb) dan sifat berhati-hati. Kombinasi dari kebiasaan ini dipertimbangkan
untuk mengkonstitusikan “diri” - apa yang Thomas Merton dan yang lain telah
menyebutnya diri “empirik”. Menurut ajaran Buddha ini adalah kesalahan yang
diam: tak seorang pun atau tidak juga dari kombinasi ini dari mereka
mengkonstitusikan diri. Tubuh, pikiran dan jiwa tak berhenti berubah dan tak
ada dasar dalam adanya manusia yang mengkonstitusikan diri: segala sesuatu di
dunia ini tidak memiliki esensi, segala sesuatu itu berubah terus. Jika ini
sungguh nyata maka, kemudian seseorang mencari jawaban mengapa Buddha harus
betul-betul mempertimbangkan penyelamatan dari substansi terkecil
ciptaan-ciptaan sehingga sangat berguna. Waktu dan perlawanan perbandingannya
bagi mereka itu dipertentangkan; tetapi mengapa, seseorang tidak dapat bertanya , tidakkah seseorang telah melihat
seluruh dunia sebagai kekosongan substansi, yang tidak melepaskan dirinya dari
hal itu dan yang telah memasuki suasana keabadian, masih mengamati dirinya
dengan susunan dan ciptaan yang tidak permanen yang tidak terdapat lagi persamaan
menjelang dua menit terakhir. Kelihatannya tidak terjawab pertanyaan ini,
kecuali kita dipersiapkan untuk menerima teori bahwa Budha mengakui eksistensi
dari diri yang transenden agaknya pada tataran Samkhya-Yoga. Para sarjana telah
dikhususkan enggan mengakui ini, dan ini tampaknya aneh, sebab semua rentetan
pesan pada awal Kanon Buddha yang mana murid-murid Buddha telah menceritakan
bahwa untuk menemukan “diri”, mereka mengungsikan diri dan diri itu disebut
mencapai nirvana. Situasi ini mungkin
dikatakan pada bagian tedahulu, yang disebut juga brahma-bhuta, “menjadi Brahman”, tetapi untuk Buddhisme Brahman
bukan merupakan prinsip alam semesta tetapi realisasi jiwa sederhana dari
dirinya sendiri sebagai pemilik keabadian dan dimensi waktu yang hilang.
Perbedaan
mendasar antara ajaran Budha dengan agama wahyu ialah bahwa kebenaran,
pencerahan atau keselamatan dapat dicapai dengan usaha manusia sendiri tanpa
pertolongan orang lain. Budha tidak sama dengan agama wahyu yang selalu
mengutamakan keesaan Tujan yang turut dalam keselamatan manusia. Oleh sebab itu
Budha sering dipandang sebagai aliran agama yang ateis, karena tidak pernah
menunjukan keesaan Tuhan.[9]
Tubuh Menurut Budhisme.
Dalam
ajaran tentang tubuh manusia Budha menandaskan bahwa tubuh dapat dilihat dan
ditangkap dalam berbagai benda yang kelihatan kepada manusia. Dalam manusia
terdapat unsur-unsur tertentu dan tetap, unsur yang mengalir dan cair, unsur
yang memanaskan, unsur gas. Hal ini mendorong manusia untuk menerima bahwa
dalam diri manusia terdapat empat unsur yang besar dan berpengaruh yakni air,
tanah, api, dan udara/angin. Selanjutnya budha menandaskan bahwa dalam dri
manusia bukan hanya terdapat empat unsur tersebut tetapi masih ada unsur lain
yang disebut sebagai kelima indera: mata, telinga, hidung lidah dan peraba.
Fenomen-fenomen ini dialami manusia dan menyatakan diri secara mekanis.
Selanjutnya manusia juga bila dilihat dari pendangan psikologis masih terdapat
suatu unsur yang ada dalam diri manusia yakni unsur pengertian sebab manusia
bukan hanya menerima dan menganggap objek-objek inderawi material melainkan
juga dari objek-objek itu ia membentuk
suatu gambaran pemikiran yang adalah gambaran rohani.
Akhirnya
Budhisme mengambil suatu keputusan bahwa
enam indera dalam diri manusia itu saling terikat antara satu dengan
yang lain. Tidak mungkin manusia dapat memisahkan satu dengan yang lain karena
apa saja yang diketahui oleh manusia yang di tanggap manusia merupakan suatu
hal esensial yang harus dialami oleh keenam indera tersebut.[10]
Manusia
“Tidak ada sesuatupun yang tidak berubah, maka juga di dalam diri manusia tida ada sesuatu
yang tetap berada dengan tidak berubah, tidak tidak ada jiwa yang kekal abadi.
Manusia sebenarnya adalah suatu kelompok unsur-unsur jasmani dan rohani.
Keadaan mental manusia sebenarnya adalah gejala-gejala belaka, seperti
gejala-gejala yang lain. Di belakang gejala-gejala mental itu tiada tersembunyi
suatu pribadi atau ego”[11]
Pada bagian ini merupakan inti persoalan dasar
manusia. Segala sesuatu yang sambil lalu dan sementara saja yang menyakitkan
dan yang penuh sengsara adalah menetap, tetapin tidak pribadiah. Dan tidak
mengenai manusia sendiri atau bukan miliknya; bukan milik kita dan adalah bukan
kita-saya. Apakah ketubuhan itu saya? Jika saya katakan bahwa tubuh adalah “saya”
maka saya akan katakan: karena saya adalah tubuh saya, maka saya ingin bahwa
tubuh saya tidak boleh takluk kepada sengsara, ketuaan, kematian. Namun
semuanya itu tidak mungkin sebab terhadap hal-hal itu saya tidak sanggup karena
saya akan menjadi sakit, saya akan mati, walaupun saya ingin hidup terus.
Dengan demikian tubuh bukan milik saya.[12]Tubuh
itu suatu fenomen yang menyatakan diri kepada kita dan selanjutnya tanggapan
itu akan hilang, jika tanggapan itu merupakan saya sendiri. Disitulah manusia
akan mempertanyakan dirinya bahwa saiapakah aku ini.
[1]
Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia
Budaya Timur dan Barat ( Ledalero: STFTK, 1983), hlm. 159.
[2]
Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…,
hlm. 162-163.
[3]
Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…,
hlm. 170-173.
[4]
Yoseph Solor Balela, Filsafat Timur
(Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2005), hlm. 1-2.
[5]
Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hml. 31.
[6]
Mudji Sutrisno, Zen Buddhis:Ketimuran dan
Paradoks Spiritualitas (Jakarta:
Obor, 2002), hlm. 9-11.
[7] Ozias
Fernandes, Humanisme: Citra manusia…,
hlm. 204-205.
[8]
Mudji Sutrisno, Zen Buddhis:Ketimuran…,
hlm. 14-15.
[9]
Mudji Sutrisno, Buddhisme: Pengaruhnya dalam Abad Moderen (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm. 117
[10]
Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…,
hlm. 208.
[11]
Harun hadiwijono, Sari Filsafat…,
hlm. 35.
[12]
Ozias Fernandes, Humanisme: Citra manusia…,
hlm. 208-209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar