Entri Populer

Jumat, 18 November 2011

Hukuman mati

Tinjauan Moral-Teologis Atas Hukuman Mati
1.                  Pengantar
Masalah hukuman mati sungguh merupakan suatu topik yang tak henti-hentinya diperdebatkan di seluruh dunia. Bagi umat Katolik, masalah ini lebih bersifat problematis. Ajaran Gereja menekankan kekudusan hidup dan martabat manusia, yang tampaknya menentang tindakan mengakhiri hidup manusia. Namun demikian, hak hidup merupakan dasar dari kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri, “Cinta kepada diri sendiri merupakan  dasar ajaran moral. Dengan demikian, tindakan seseorang untuk menuntut hak atas kehidupannya sendiri adalah sah. Barang siapa yang membela kehidupannya tidak dapat dipersalahkan, walaupun pembelaan itu terjadi melalui satu pukulan yang mematikan”.[1]
2.                  Data Masalah Sosial
            Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati juga eksis baik secara internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak memicu debat di forum internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika Tibo Cs dan Amrozi Cs dieksekusi.
            Tibo dan kawan-kawan dieksekusi mati pada tahun 2006. Walaupun bukti-bukti kebersalahan korban belum mencapai taraf kepastian namun pelaksanaan hukuman mati tetap saja berjalan. Tibo dan kawan-kawan tetap menyatakan bahwa diri mereka tak bersalah kepada pihak berwajib hingga dieksekusi. Kesaksian dua belas halaman tulisan tangan yang diberikan kepada wartawan Tempo, Darlis Muhamad, merupakan pengungkapan isi hati atas ketakbersalahan dari korban.[2] Pada kesempatan lain, Roy Rening, selaku pengacara korban, mengatakan bahwa Fabianus Tibo dan kawan-kawan adalah orang yang tak bersalah dan menjadi korban kepentingan lokal dan pusat. Bagaimana mungkin seorang petani kecil yang tidak tamat Sekolah Dasar dapat menjadi aktor intelektual?[3]
            Amrozi dan kawan-kawan dieksekusi pada 09 November 2008. Berbeda dari Tibo dan kawan-kawan, mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pengeboman kawasan Kuta, Bali, Oktober 2002 yang lalu. Peristiwa ini menyebabkan 202 orang meninggal dan 209 lainnya terluka. Meskipun kesalahan Amrozi dan kawan-kawan telah terbukti, pemberitaan tentang mereka tidak proporsional. Ketiga terpidana mati itu menjadi “selebitas” dan “pahlawan”.[4]
3.                  Analisis
3.1        Kehilangan Hak Hidup
Setiap manusia mempunyai hak atas hidupnya. Hak hidup tersebut tidak berasal dari masyarakat, tidak berasal dari negara, atau siapa pun. Hak hidup merupakan bagian dari kodrat manusia, baik tanpa ditentukan oleh tingkahlakunya. Seberat apa pun kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, ia tetap berhak atas hidupnya.[5]
Hukuman mati mengakibatkan seseorang kehilangan hak atas hidupnya. Dalam hal ini, negara, sebagai otoritas yang berwenang atas hukuman mati, mencabut hak tersebut dari warganya. Dengan demikian, negaralah yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak atas hidupnya.[6] Realitas ini menunjukkan bahwa negara tidak memiliki sikap hormat terhadap hak hidup warganya. Jika demikian, maka hukuman mati tidak layak untuk dipertahankan.[7]
3.2         Hukuman Alternatif
            Telah dikatakan bahwa hak hidup manusia merupakan kodratnya. Manusia tidak mempunyai hak untuk mengambil nyawa orang lain, sekalipun orang itu melakukan kejahatan. Bila tindakan kejahatan masih dapat dielakkan tanpa harus mencabut nyawa penjahat tersebut, hukuman mati bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi dan memelihara kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Masih banyak cara lain yang lebih pantas untuk memberikan ganjaran kepada para pembuat kejahatan. Salah satu cara adalah misalnya penjara.[8]
            Banyak ahli yang bergelut dalam bidang ini, mendukung pendapat di atas. Salah satu tokoh adalah Beccaria.[9] Menurutnya, hak hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal. Membunuh adalah perbuatan yang tercela. Pembunuhan yang dilegalkan dalam undang-undang adalah immoral, maka tidak sah.[10] Senada dengan itu, Von Hentig, juga seorang penentang hukuman mati, berpendapat bahwa menahan seseorang dalam penjara karena tindakannya yang meresahkan masyarakat merupakan tindakan yang bijaksana. Dengan menahannya dalam penjara, penjahat masih akan hidup dan mempunyai kemungkinan untuk memperbaiki hidupnya.[11]
3.3         Tindakan Balas Dendam
Hukuman mati dapat dimanfaatkan sebagai media untuk memabalas dendam atas nama silih. Silih yang dimaksud adalah tindakan pemulihan tata nilai yang dilanggar. Harus diakui juga bahwa di balik gagasan silih terimplisit maksud balas dendam. Jika demikian, hukuman mati hanya merupakan luapan emosi yang tidak berperikemanusiaan.[12]
3.4         Gagasan Resosialisasi
Segala bentuk hukum selalu dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara keadilan. Keadilan menuntut bahwa suatu hukuman haruslah sepadan dengan kejahatan;  hukuman harus proporsional dengan luka yang diakibatkan kejahatan. Hukuman yang demikian tidak hanya sekedar “mata ganti mata, gigi ganti gigi”; tetapi suatu hukuman yang adil berusaha memulihkan keadaan damai yang terluka oleh kejahatan. Dengan demikian, hukuman menuntut ganti rugi yang sepadan, tindakan pencegahan dan perbaikan diri.[13]
Sebagai bentuk ganti rugi, hukuman secara khusus memulihkan kembali tata keadilan yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan. Sebagai contoh, jika pelaku kejahatan mencuri sesuatu, maka harus diberikan ganti rugi, misalnya dengan mengembalikan barang yang dicuri atau melakukan bentuk pembayaran lainnya. Pelaku juga dapat dikenai sanksi pencabutan atas hak-hak tertentu, misalnya dengan kurungan atau denda. Ganti rugi yang adil berusaha menyembuhkan luka yang diakibatkan oleh kejahatan dan mengembalikan tata keadilan.[14]
Sejalan dengan pemikiran ini, hukuman sepatutnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang. Jika keadilan dilaksanakan dengan adil dan segera, maka hukuman tertentu untuk tindak kejahatan tertentu seharusnya mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang baik oleh pelaku kejahatan itu sendiri maupun orang lain. Hukuman seharusnya tidak hanya sekedar melindungi masyarakat dari suatu tindak kejahatan tertentu, melainkan juga menjauhkan pelaku kejahatan dari tindak kejahatan yang sama di masa mendatang. Pada akhirnya, hukuman yang dijatuhkan atas seorang pelaku kejahatan haruslah membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk memperbaiki diri. Penjahat yang dijatuhi hukuman diharapkan tergerak untuk melihat jalannya yang salah, bertobat dan kemudian mengubah hidupnya.
Hukuman yang adil berusaha menyeimbangkan ketiga perspektif ini: ganti rugi, pencegahan dan perbaikan diri. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menerapkan hukuman yang demikian, negara harus menjamin sebaik mungkin bahwa terdakwa diadili dengan adil dan bahwa hanya otoritas yang sah saja yang dapat menjatuhkan sanksi.
Gagasan resosialisasi ini juga berlaku bagi para terpidana. Gagasan itu dilakukan dengan maksud agar terpidana insyaf akan tindakan yang dilakukannya, dan dengan maksud itu, ia dapat mengubah sikapnya menjadi seorang anggota masyarakat yang baik. Pemerintah dan masyarakat berperan sebagai pendidik bagi para terpidana sehingga mereka berkembang ke arah yang lebih manusiawi. Dengan cara ini, diharapkan terpidana dapat memperbaiki diri dan kembali ke dalam masyarakat dan hidup sesuai dengan tata nilai yang ada.[15]
Gagasan ini muncul karena adanya suatu kesadaran masyarakat bahwa kejahatan tidak dapat timbul semata-mata karena manusia ingin berbuat jahat. Pada dasarnya, manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk serta memilih untuk berbuat yang baik.[16] Terkadang kejahatan bisa terjadi karena negara telah memberikan contoh yang buruk perihal pembunuhan, misalnya melalui hukuman mati, sehingga tercipta kesempatan untuk berbuat demikian. Berdasarkan hal tersebut, hukuman mati tidak layak untuk dilaksanakan.[17]
3.5         Kemungkinan Kekeliruan dan Ketidakadilan
            Satu hal yang sering dicemaskan oleh para penentang hukuman mati adalah  masih adanya kemungkinan kekeliruan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pengadilan dalam mengeluarkan suatu keputusan. Keputusan yang keliru dan tidak adil bisa diubah, akan tetapi hidup tidak bisa dikembalikan. Ernes Bown Row Lands, seorang penentang hukuman mati, berpendapat bahwa bila seorang hakim telah keliru dalam memutuskan suatu perkara hukuman mati, maka keadaan itu tidak akan pernah diperbaiki lagi, sebab terdakwa sudah meninggal dan tidak akan bisa lagi mengajukan gugatan atau naik banding. Sebaliknya, bila seorang hakim tidak melakukan kekeliruan, maka terpidana tidak akan mati; kerugian dan nama baiknya masih dapat dikembalikan.[18]
4.                  Pandangan Teologis  atas Hukuman Mati
4.1.              Allah sebagai Pencipta
Allah, sebagai Pencipta, berkuasa bukan hanya atas alam semesta (Kej 1:31), melainkan juga atas penciptaan manusia. Dia menciptakan manusia laki-laki dan perempuan (Kej 1:27).[19] Bagi manusia, memahami Allah sebagai Pencipta berarti menyadari bahwa ia adalah makhluk yang seluruhnya bergantung pada Allah sebagai sumber hidupnya. Ketergantungan pada Allah menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas.[20] Keterbatasan manusia mengantar manusisa untuk sampai kepada pengakuan bahwa hidup sungguh berasal dari Allah dan manusia hanya berpartisipasi di dalamnya.[21]
Allah menciptakan, memelihara dan menyelenggarakan hidup manusia (Mat 6:25-32). Hidup manusia sangat berharga bagi Allah karena dalam diri manusia, Allah merepresentasikan diri. Jika manusia adalah representasi Allah di dunia ini, maka manusia dituntut agar mendasarkan hidupnya pada Allah.[22]
Hidup manusia adalah milik Allah. Menghukum mati seseorang berarti manusia mengambil apa yang menjadi milik Allah. Negara atau siapa pun tidak mempunyai kuasa atas hidup manusia. Allah adalah satu-satunya kuasa yang dapat memberi dan mengambil kehidupan (bdk. Ayb 34:14-15).[23] Oleh karena itu, melalui hukuman mati, manusia mengambil alih kuasa Allah atas kehidupan manusia.
Hidup dan kematian berada di tangan Allah, kuasa Allah.[24] Dengan hukuman mati, manusia melenyapkan nafas kehidupan sesamanya. Itu berarti manusia telah melanggar kedaulatan Allah sebagai Pencipta, karena tidak mungkin menghormati Allah sementara martabat manusia diperkosa. Mengesampingkan martabat manusia berarti kedaulatan Allah juga turut dikesampingkan.[25]
4.2              Manusia sebagai Gambar Allah
Sejak awal, manusia diciptakan menurut gambar Allah. Segala sesuatu di dunia diarahkan kepada manusia sebagai puncak dan pusat ciptaan. Manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia, diberikan wewenang untuk menguasai dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah.[26]
Manusia meluhurkan Allah karena manusia diciptakan menurut citra-Nya. Sebagai citra Allah, manusia mampu mengenal dan mencintai Penciptanya. Semua manusia adalah sama, sederajat dan bergantung pada Allah. Kesamaan tidak menghilangkan keunikan setiap pribadi manusia. Keunikan setiap pribadi, baik kelebihan maupun kekurangan, harus tetap diakui sebagai kekhasannya. Rasa hormat dan penghargaan terhadap martabat manusia akan terpenuhi jika setiap orang diakui dan diterima sebagaimana adanya.[27]
Manusia harus dilihat menurut dimensinya yang paling asasi, yaitu kodratnya sebagai manusia. Kodrat memungkinkan manusia membentuk kesatuan dengan Allah, yakni melalui jiwa dan raganya. Manusia dipanggil untuk meluhurkan Allah Sang Pencipta. Kesatuan ini bukan hanya karena kodrat yang sama, tetapi juga karena setiap manusia adalah sama-sama sebagai citra Allah. Kebenaran ini mengakibatkan manusia harus saling menghargai dan saling mencintai satu dengan yang lain. Demi merealisasikan tugas ini, manusia harus memiliki rasa tanggung jawab dan cinta akan kehidupan karena Allah memanggil manusia kepada kehidupan dan menghendakinya memiliki kehidupan dalam kepenuhan (Yoh 10:10). Setiap manusia sebagai gambar Allah mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri.[28]
Setiap orang dipanggil untuk menghargai kehidupan sebagai wujud partisipasinya dalam kehidupan Allah sendiri. Membunuh merupakan tindakan penghilangan nyawa manusia secara tidak bermoral. Membunuh manusia adalah suatu tindakan yang tidak menghargai kehidupan sebagai pemberian Allah. Dengan membunuh, manusia melawan kehendak Allah karena Allah yang telah memanggilnya untuk hidup dalam kepenuhan dengan hidup-Nya.[29]
Hukuman mati adalah suatu tindakan kekejian karena menghilangkan nyawa manusia. Hukuman mati bukan hanya suatu tindakan yang tidak mengormati kemuliaan Allah Sang Pencipta, pemberi kehidupan, tetapi juga tidak menghargai manusia sebagai gambaran Allah sendiri.[30]
Dengan adanya hukuman mati, kodrat manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei) juga ikut dirusakkan. Manusia yang telah ditetapkan Allah sebagai penguasa atas seluruh makhluk ciptaan justru menjadi penguasa bagi sesamanya: menguasai untuk membinasakan sesama dengan membunuhnya. Kekuasaan yang diberikan Allah tersebut disalahgunakan oleh manusia.[31]
Hukuman mati juga merusak kekerabatan rohani yang menghimpun manusia menjadi satu keluarga. Sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, setiap manusia baik pria maupun wanita, sederajat di hadapan Allah. Melalui jiwa dan raganya, manusia membentuk kesatuan dengan Allah, membentuk suatu kekerabatan rohani, yang dengannya manusia dapat meluhurkan Allah. Dengan adanya hukuman mati, martabat manusia direndahkan, serentak dengan itu kekerabatan tersebut juga turut dirusakkan.[32]
5.                  Sikap Gereja terhadap Hukuman Mati
Pada dasarnya Gereja dengan tegas menolak adanya hukuman mati. Sikap Gereja ini bertolak dari pandangannya atas kekudusan hidup dan keluhuran martabat manusia. Dalam cahaya Sabda Allah dan iman, hidup manusia adalah sakral. Betapapun besar kejahatan seseorang, ia tidak kehilangan hak mendasar atas hidup. Hak ini didasarkan pada gambar, yang pada penciptaan diberikan Allah kepada kodrat manusia sendiri. Tiada kekuatan, tiada kekerasan, tiada hawa nafsu dapat melenyapkan atau menghancurkannya. Berkat gambar ilahi ini manusia adalah pribadi yang dibekali dengan martabat dan hak-hak.[33]
Paus Pius XII mengungkapkan penolakannya atas hukuman mati. Menurutnya, selama manusia tidak bersalah, hidupnya tidak boleh diganggu-gugat. Allahlah satu-satunya penguasa atas hidup manusia. Negara tidak berhak menguasai hak hidup seseorang. Hukuman mati harus dihindari bila tujuan hukuman dapat dicapai dengan cara lain.[34]
Penolakan Gereja terhadap hukuman mati juga diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensikliknya, Evangelium Vitae, Paus sangat menekankan nilai mutlak kehidupan manusia. Kekudusan hidup menjadi landasan bagi setiap penghilangan nyawa manusia, termasuk hukuman mati. Perihal hukuman mati ini Paus menulis bahwa,
[...] Mengenai soal itu makin kuatlah kecenderungan di dalam Gereja maupun dalam masyarakat sipil, untuk meminta supaya hukuman mati itu diterapkan secara sangat terbatas, atau bahkan supaya itu dihapus sama sekali. Masalah hukuman mati harus ditinjau dalam konteks sistem keadilan pidana, yang makin sejalan dengan martabat manusiawi, dan dengan demikian – pada dasarnya – dengan rencana Allah bagi manusia dan masyarakat. Tujuan utama hukuman mati yang dijatuhkan oleh masyarakat yakni “untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran.” Pemerintah wajib memulihkan pelanggaran hak-hak pribadi dan sosial, dengan mengenakan pada terpidana hukuman mati yang setimpal dengan kejahatannya, sebagai syarat bagi terpidana untuk memperoleh lagi pelaksanaan kebebasannya. Begitulah pemerintah juga memenuhi tujuan mempertahankan ketertiban umum dan menjamin keamanan rakyat, sementara sekaligus memberi kepada terpidana dorongan dan bantuan untuk mengubah perilakunya dan mendapat rehabilitasi.
Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya hukuman harus dievaluasi dan diputuskan dengan cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang mutlak perlu. Dengan kata lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat. Akan tetapi sekarang, sebagai hasil perbaikan-perbaikan terus menerus dalam penataan sistem hukuman, kasus itu langka sekali, kalau bukannya praktis sudah tidak ada lagi.
Bagaimana pun juga prinsip yang dicanangkan dalam Katekismus Gereja Katolik yang baru tetap berlaku: “kalau upaya-upaya tak berdarah sudah memadai untuk membela hidup manusia melawan penyerangan dan melindungi ketertiban umum serta keamanan orang-orang, pemerintah harus membatasi diri pada upaya-upaya itu, sebab lebih sesuai dengan kondisi-kondisi konkret kesejahteraan umum, dan lebih selaras dengan martabat pribadi manusia.[35]
            Dalam Deklarasi Tahta Suci kepada Kongres Sedunia tentang Hukuman Mati pada tanggal 21 Juni 2001, Tahta Suci mengecam dan mengusahakan penghapusan hukuman mati. Paus Yohanes Paulus II menghimbau agar hukuman mati diubah menjadi hukuman yang lebih ringan, yang memungkinkan pembaruan bagi orang yang bersalah, pengharapan bagi orang yang tak bersalah, dan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat. Masyarakat mempunyai sarana untuk melindungi diri tanpa harus menggunakan hukuman yang kejam. Penghapusan hukuman mati akan menjadi peneguhan yang berani atas kepercayaan bahwa umat manusia dapat berhasil menanggulangi kejahatan. Penghapusan ini akan membangkitkan harapan baru atas nilai kemanusiaan yang tiada taranya.[36]
            Dalam masyarakat dewasa ini, hukuman mati tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun. Negara jangan malaksanakan kekuasaannya atas hak hidup manusia bila efek buruk melebihi efek baik. Pada prinsipnya, hukuman mati lebih banyak mendatangkan dampak yang merugikan dari pada menguntungkan. Hukuman mati sudah saatnya untuk dihapuskan.[37]
6.                  Kesimpulan
Tak diragukan lagi, masalah ini sungguh rumit dan menimbulkan banyak kesedihan dalam diri setiap orang Kristiani yang saleh. Tak ada sistem pengadilan yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan, pencegahan, ketepatan pengadilan dalam menangani kasus, dan nasehat hukum yang memadai akan terus-menerus diajukan. Debat seputar persyaratan untuk melaksanakan hukuman mati akan terus berlanjut. Sungguh penting dan mendesak perlunya mengubah suatu sistem penjara dari suatu tempat di mana kita mengurung manusia, menjadi suatu tempat di mana kita dapat merehabilitasi pelaku kejahatan. Namun demikian, berdasarkan sistem kita sekarang, yang terbaik yang dapat dilakukan, pengadilan yang adil wajib dijalankan dan hukuman yang adil dijatuhkan demi memulihkan kembali tata keadilan dan perlindungan bagi semua orang.
            Secara keseluruhan, balas dendam haruslah dihindari. Tetapi, hukuman mati tak akan dapat menghidupkan kembali orang-orang terkasih yang telah meninggal. Betapa menyedihkan masing-masing dari kita dapat dengan mudah kehilangan pandangan akan keadilan dan terjerumus ke dalam dosa balas dendam. Keadilan sejati mengamanatkan agar kita wajib menghapuskan segala bentuk dendam, dan mengejar jalan keluar yang adil bagi semua pihak. Hanya keadilan sejati dengan kasih pengampunan akan mendatangkan damai dan melupakan dendam masa lampau.
Semua orang yang peduli terhadap kehidupan akan merasa cemas atas hukuman mati itu. Mereka yang setuju bahwa eksekusi selaras dengan kriteria keadilan akan diliputi kegalauan hati atas perlunya menunjukkan belas kasihan dan menghormati kekudusan hidup manusia, serta martabat setiap individu. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati akan diliputi kegalauan hati atas jenis kehidupan yang disodorkan kepada para terpidana mati dan atas pertanyaan “Apakah masyarakat sekarang dapat sungguh-sungguh aman?”. Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, tokoh besar dalam kebenaran dan kekudusan hidup manusia, telah berulang kali menyerukan demi diakhirinya hukuman mati dan memohon keringanan bagi hukuman mati. Sebab itu setiap umat Kristen Katolik ditantang untuk bergulat dengan masalah ini, dan tidak hanya sekedar mendukung satu pihak atau yang lainnya, melainkan berupaya demi terciptanya suatu sistem yang lebih adil dalam segala aspek kehidupan. Hanya melalui keadilan kita akan dapat menikmati damai dan tata tertib dalam komunitas kita.


[1] Katekismus Gereja Katolik, no. 1934, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Percetakan Arnoldus, 1998), hlm. 576.

                [2] Eduardus Karel Dewanto dan Jems De Fortuna, “Berlembar Catatan Menjelang Ajal” dalam Tempo, 31/XXXV (25 September 2006), hlm. 26-27.

[3] A. Sudarmanto, “Mengenang 40 Hari Terbunuhnya Tibo dkk”, dalam HIDUP, 46/LX (12 November 2006), hlm. 11.  
               
                [4] WMU, Arif A. Kuswardono dan Anton Aprianto, “Eksekusi di Bukit Nirbaya”, dalam Tempo (16 November 2008), hlm. 27-29; bdk. “Bukan ‘Seleb’ dari Tenggulun”, dalam Tempo …, hlm. 24.
               
                [5] Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) no. 39 (Seri Dokumen Gerejawi no. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan, 2003), hlm. 10. Untuk kutipan selanjutnya penulis memakai singkatan EV (Evangelium Vitae)  dengan diikuti nomor yang dikutip.
                [6] P. Go, Hidup dan Kesehatan (Malang: [Tanpa Penerbit], STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 454.
                [7] Konsili Vatikan II, ”Konstitusi Pastoral tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini” (GS) no. 27, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan  KWI – Obor, 1993), hlm. ………………….. Untuk kutipan selanjutnya penulis memakai singkatan GS (Gaudium et Spes) dengan diikuti nomor yang dikutip.
                [8] P. Go, Hidup ..., hlm. 459.
                [9] Beccaria adalah seorang penentang hukuman mati dari Italia yang hidup pada abad ke-18. Dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, dia dianggap sebagai seorang peletak dasar dari aliran klasik yang menolak hukuman mati. Inti ajaran dari aliran tersebut adalah berat-ringannya sanksi pidana ditentukan oleh tingkat kejahatan yang dilakukan terdakwa. Namun pada prinsipnya, dia menolak hukuman mati dan berusaha agar hukuman mati dihapuskan karena sanksi pidana tersebut sungguh di luar perikemanusiaan. [Lihat Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini dan Di Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 36-37.]
                [10] Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati ..., hlm. 36.
               
                [11] Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati ..., hlm. 41.

[12] P. Go, Hidup ..., hlm. 458-459; bdk. T. Jacobs, Komentar pada Gaudium et Spes mengenai Gereja dalam Dunia (art. 1-45), (Jogjakarta: Kanisius, 1968), hlm. 386.

                [13] P. Go, Hidup ..., hlm. 459.

               
                [14] P. Go, Hidup ..., hlm. 460.
               
                [15] P. Go, Hidup ..., hlm. 458-460.
                [16] GS 16.
                [17] Moehadi Zaenal, Pidana Mati: dihapuskan atau dipertahankan (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984), hlm. 24; bdk. GS 74.
                [18] Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati ..., hlm. 41.
                [19] GS 12.
                [20] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 146-147.
                [21] EV  2.
                [22] EV  39; bdk. GS 15.

[23] Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 130.
               
                [24] GS 15.
               
[25] GS 12; bdk. GS 27; bdk. Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 15-16.
                [26] T. Jacobs, Komentar…, hlm. 211-212.
                [27] T. Jacobs, Komentar…, hlm. 217.
                [28] T. Jacobs, Komentar…, hlm. 212-213.

                [29] EV 41.
                [30] P. Go, Hidup ..., hlm. 460-461.
                [31] GS 12.
                [32] EV 8.
                [33] Takhta Suci, Hukuman Mati, (Seri Dokumen Gereja, no. 87), diterjemahkan oleh R. P. Piet Go (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006), hlm. 33.
               
                [34] Takhta Suci, Hukuman ..., hlm. 35-36.
                [35] EV 56; bdk. KGK no. 2267.
                [36] Takhta Suci, Hukuman ..., hlm. 22-23.

                [37] Takhta Suci, Hukuman ..., hlm. 41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar