Entri Populer

Selasa, 15 November 2011

KHK: Seminar





BAB I 


I PENDAHULUAN

Semua anggota Gereja memiliki tugas dan panggilan untuk mencapai kekudusan hidup. Panggilan ini terungkap dari corak dan status hidup setiap orang baik secara pribadi maupun kelompok yang mengarah pada kesempurnaan cinta kasih dan teladan yang baik. Salah satu teladan hidup dalam Gereja katolik ialah pembaktian diri kepada Allah. Pembaktian diri kepada Allah yang didasarkan atas nasihat-nasihat injil.[1]
Dalam Gereja Katolik, orang-orang yang membaktikan diri kepada Allah disebut kaum religius. Kaum religius mempunyai cara hidup yang berbeda dengan kaum awam biasa. Perbedaannya terletak pada cara hidup dan cara berpakaian. Perbedaan pakaian terletak pada warna, model dan bentuknya. Bentuk dan model pakaian relegius ditentukan oleh konstitusi yang ditetapkan oleh setiap tarekat. Perbedaan pakaian religius dengan pakaian kaum awam biasa mau mengungkapkan suatu bentuk hidup. Dalam KHK 1983 kanon 669§ 1 menandaskan bahwa pakaian religius mau mengungkapkan tanda pembaktian hidup dan kesaksian kemiskinan. Melihat makna yang terkandung dalam pakaian religius maka setiap tarekat religius memberikan suatu ketentuan bahwa seorang religius harus mengenakan pakaian terekatnya untuk mengungkapkan kedua hal tersebut.[2]
            Dalam kehidupan di zaman moderen ini terdapat suatu problem yang mendasar yakni kurangnya kesadaran dari kaum religius untuk mengenakan pakaian terekat. Pakaian religius yang telah ditetapkan dalam setiap konstitusi tarekat mau meneunjukan identitasnya. Identitas seorang religius secara lahiraih bisa ditentukan oleh pakaiannya maka kaum religius harus konsekuen dalam menggunakan pakaiannya. Kenyataan yang ada, kaum religius terkadang melupakan makna dari pakaian terekatnya.[3]
Melihat kenyataan ini penulis mau menggali dan menemukan makna yang terkandung dalam pakaian religius sesuai dengan KHK 1983 kanon 669, § 1.
2.      Perumusan dan Pembatasan Tema
Penulis melalui seminar ini ingin mengulas makna pakaian religius. Pembahasan tentang pakaian tarekat religius telah dibahas dalam Konsili Vatikan II dalam dekrit pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (PC) artikel 17. Secara khusus dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 669, § 1 membahas pakaian tarekat religius. Kanon 669, § 1 ini mengemukakan makna pakaian tarekat religius, yakni jubah sebagai suatu tanda hidup bakti dan kesaksian kemiskinan: “Para religius hendaknya mengenakan pakaian tarekat, yang dibuat menurut norma hukum tarekatnya sendiri, sebagai tanda pembaktian diri dan kesaksian kemiskinan.” Penulis mau membahas makna pakaian menurut kanon ini.[4]
3. Tujuan Penulisan
Penulisan seminar ini mempunyai tujuan, pertama untuk memenuhi tuntutan akademis pada Fakultas Filsafat, jurusan Filsafat  pada Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara. Kedua, untuk memaparkan makna yang terkandung dalam pakaian religius berdasarkan KHK 1983 kanon 669, § 1. Ketiga, agar pembaca memperoleh suatu pemahaman dan penjelasan yang berkaitan dengan pakaian religius. Keempat, sebagai latihan bagi penulis untuk mengerjakan skripsi guna menyelesaikan program Strata Satu (S-1)
4.      Metode Penulisan
Dalam penyusunan dan penulisan seminar ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Sumber utama penulisan seminar ini adalah KHK 1983. Penulis juga menggunakan buku-buku dan dokumen resmi Gereja yang berkaitan dengan pokok penulisan seminar ini. Penulis mempelajari dan menyusun bahan-bahan tersebut menjadi sebuah karya tulis. Metode penelitian kepustakaan ini disajikan secara deskriptif.
5.      Sistematika Penulisan
Seminar ini terdiri dari tiga bab, yang merupakan satu kesatuan. Uraian masing-masing bab sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang pemilihan tema, perumusan dan pembatasan pokok bahasan, tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II:  Makna pakaian religius menurut KHK 1983 kanon 669, § 1, penulis menguraikan pengertian pakaian religius, bentuk-bentuk pakaian religius, syarat-syarat menurut konstitusi tarekat,  pakaian religius sebagai tanda hidup bakti dan kesaksian kemiskinan.
Bab III: Penulis menutup pembahasan dengan kesimpulan dan refleksi penulis tentang pakaian religius.


















BAB II


PAKAIAN RELIGIUS SEBAGAI  TANDA HIDUP BAKTI  DAN KESAKSIAN KEMISKINAN  MENURUT KITAB HUKUM KANONIK 1983
KANON 669 § 1

2.1 Pakaian Religius
2.1.1 Apa Itu Pakaian Religius
            Pakaian religius merupakan pakaian yang di kenakan oleh para religius. Pakaian itu diterima sejak seorang religius berada di novisiat. Pakaian itu dikenakan sebagai tanda pembaktian diri kepada Allah. Pakaian religius pada umumnya berbeda antara satu tarekat religius dengan tarekat lainnya. Pakaian religius sering dimengerti sebagai perlengkapan yang dikenakan oleh seseorang yang telah memutuskan dan mau menghidupi nasehat-nasehat injili.[5]
2.1.2  Bentuk-bentuk pakaian Religius
            Dalam setiap tarekat religius kita bisa menemukan keterangan mengenai bentuk-bentuk pakaian religius. Bentuk-bentuk pakaian religus pada umumnya panjang, polos dan kasar. Salah satu contohnya ialah jubah. Jubah pada umumnya bermacam warna sesuai dengan ketetapan dalam setiap konstitusi tarekat religius berdasarkan dengan wilayah dimana terekat itu berkarya.[6]
Bagi kaum religius, pakaian biara adalah simbol dari hidup panggilan. Jubah, misalnya tidak hanya berarti sebagai pakaian yang dapat menunjukan identitas dan jenis konggregasi tertentu pemakainya, tetapi juga memiliki arti simbolis yang lebih luas. Banyak hal yang dapat diuraikan di balik pakaian biara. Pakaian religius pada umumnya berwarna hitam, putih, abu-abu dan cokelat. Warna-warna ini memberikan suatu makna bagi kaum religius. Hitam, menyimbolkan suatu kehendak untuk tampil bersahaja, tidak duniawi, mengatasi setiap tujuan dalam mengikuti mode perkembangan zaman. Abu-abu dan cokelat menyimbolkan suatu pertobatan diri manusia dari perbuatan-perbuatan yang bersifat duniawi dan mengarahkan diri kepada Allah. Putih melambangkan kesucian hidup dan kepolosan hati manusia untuk menerima rahmat Allah dalam dirinya.[7]
2.1.3 Syarat-syarat Menurut Konstitusi Tarekat
            Setiap religius mempunyai hubungan yang erat dengan konstitusi, sebagaimana dia mempunyai hubungan yang erat dengan tarekatnya. Atas ketentuan tarekat dalam konstitusi setiap religius wajib untuk hidup sesuai dengan konstitusi yang dimilikinya. Kontitusi merupakan topangan dan kekuatan untuk menanggung kelemahan manusiawi dalam menghayati hidup religius. Semakin konstitusi dicintai dan diresapi maupun dihayati akan semakin terasa kekuatan yang membebaskan.  Cinta dan hormat kepada kontitusi kiranya menjadi hukum dan aturan yang di dalamnya sungguh dilaksanakan. Cara hidup religius maupun cara bertindaknya harus semakin sejalan dengan isi dari konstitusi itu, sebab kontitusi merupakan jalan menuju kesucian bagi orang yang berkaul dalam terekat religius.[8]
Dalam setiap konstitusi tarekat religius, secara khusus konstitusi ordo saudari Konventual berbicara mengenai pakaian yang harus dikenakan oleh anggota ordonya. Dalam anggaran dasar tanpa  bula pasal II perihal penerimaan calon ke dalam ordo dan pakaiannya:
Semua saudara hendaknya mengenakan pakaian yang kasar dan boleh melapisinya* dengan kain kasar dan potongan kain lainya dengan berkat Allah; sebab Tuhan berfirman dalam injil, orang yang mengenakan pakaian dan hidup nikmat, dan orang yang berpakaian halus tempatnya di istana raja: meskipun mereka dikatakan hidup munafik, namun hendaknya mereka tidak berhenti berbuat baik dan tidak mencari pakaian yang mahal-mahal di dunia ini, agar mereka memperoleh pakaian di dalam kerajaan surga.” “Para minister hendaknya memberi mereka pakaian percobaan, yaitu dua jubah tanpa kap, tali pinggang serta celana dan keperun yang sampai ke tali pinggang, kecuali suatu saat para minister berpendapat lain, sesuai dengan kehendak Allah.[9]        
Santo Benediktus dari Nursia mengumpulkan sekelompok rahib, pertama-tama di sebuah gua, namun Benediktus kemudian memindahkan komunitasnya ke Monte Casino. Biara yang dibangun Benediktus menjadi tempat hidup bhakti; regula yang dibangun Benediktus menjadi formatnya. Benediktin menjadi cikal bakal para rahib di Gereja Latin. Mengenai pakaian yang harus dikenakan oleh para pengikut Benediktus ditetapkan bahwa:
Para saudara hendaknya diberi pakaian menurut keadaan tempat tinggal mereka dan menurut iklimnya; sebab di daerah dingin diperlukan lebih banyak, sedangkan di daerah panas lebih sedikit. Jadi pertimbangan itu berada di tangan Abas. Namun dari pihak kami, kami berpendapat bahwa di tempat yang iklimnya sedang sudah cukup kalau tiap rahib mempunyai jubah, kovel (kovel tebal untuk musim dingin, untuk musim panas kovel tipis atau usang), dan celemek (skapulir) untuk kerja, penutup kaki, kaos kaki dan kasut. Dan mengenai warna atau tebalnya semuanya itu para rahib jangan mempersoalkannya, melainkan menerima yang terdapat di daerah itu dan dapat di beli murah.[10]
            Dalam kutipan kedua konstitusi mengenai pakaian tarekat religius tersebut menunjukan bahwa pakaian religius merupakan hal yang mendasar sebagai identitas diri dan daya pembaktian diri kepada Allah. Tujuan penetapan pakaian religius dalam  setiap tarekat religius mau menunjukan sikap persaudaraan dalam diri tarekat religius dan keolegialitas dalam mewujudkan rencana keselamatan Allah di tengah-tengah dunia ini. Melalui pakaian religius mau menyimbolkan  suatu tatanan hidup yang berbeda dengan orang-orang yang bukan religius.[11]
2.2 Dasar Biblis
            Dalam kitab suci (1Raj 19:9), pakaian juga menandakan adanya kharisma dari Allah. Melalui mantelnya nabi Elia mewarikan kharisma kepada muridnya,  nabi Elisa. Pakaian nabi merupakan tanda persekutuan dan perjanjian dengan Allah. Penggunaan pakaian yang demikian mau berbicara atau menyampaikan pesan. Pakaian berperan sebagai pengingat untuk tidak mengikuti arus kehinaan, dan mengingatkan agar keluhuran diri dan hidup serta dorongan untuk mencari kemuliaan manusia yang hilang karena dosa. Itulah sebabnya dalam tradisi hidup religius, kita dengar bahwa kaum religius harus mengenakan busana Yesus Kristus, yaitu kemiskinan Yesus Kristus sebagai jalan mendapat kembali kemuliaan yang hilang (Fil 2:6-11).[12]
2.3 Makna Pakaian Religius dalam Uraian Kitab Hukum Kanonik 1983 Kanon 669 § 1
2.3.1 Tanda Hidup Bakti
            Hidup religius selalu mencita-citakan suatu pembaktian hidup yang menandakan persatuan dengan Tuhan. Hidup religius merupakan suatu penggilan yang istimewa dari Tuhan. Penyelenggara hidup religius adalah Tuhan. Dia yang memanggil dan memilih orang-orang tertentu demi pewartaan akan kerajaan Allah. Sebagai seorang yang terpanggil, kaum religius hendaknya menjawab panggilan Allah itu dengan penyerahan diri, sebagai persembahan kepada Allah. Seluruh eksistensi hidup para religius harus menjadi ibadat terus-menerus kepada Allah dalam semangat cinta kasih sebagai landasan utama. Penyerahan diri sebagai jawaban atas panggilan merupakan suatu devosi dimana seseorang menyerahkan diri secara menyeluruh kepada Allah dalam sikap doa. Hidup religius yang telah dilihat sebagai pembaktian seluruh diri mau ditampakan oleh Gereja sebagai suatu pernikahan yang mengagumkan. Penyelenggara pernikahan tersebut ialah Allah. Allah yang berinisiatif  untuk memanggil orang-orang tertentu menampakan kerajaan-Nya di dunia ini.[13]
Seseorang yang telah menggabungkan diri dengan suatu tarekat akan memperoleh pakaian tarekat sebagai tanda pembaktian diri. Pakaian Religius sesungguhnya mau mengarahkan manusia agar  tertuju kepada Allah. Pakaian religius merupakan daya kekuatan untuk menarik orang kepada Allah dan perkara-perkara rohani. Dengan kekuatan itu mengalir dari komitmen kaum religius untuk mengutamakan kerajaan Allah, yaitu cinta agape secara radikal; tidak menikah. Tidak mengherankan kalau pakaian religius berkaitan dengan kaul kemurnian, sesungguhnya merupakan pengungkapkan adanya daya tarik ilahi dalam diri manusia.[14]
Pakaian religius merupakan suatu habitus dalam kehidupan para rohaniwan dan biarawan/wati yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pakaian religius dilihat sebagai satu hal yang paling fundamenl dan tak terpisahkan dari kehidupan para religius (biarawan/wati) karena dalam kenyataannya pakaian religius menyimbolkan hal yang mendasar dari kehidupan para religius. Pengungkapan dari pakaian religius menjadi berarti jika para religius berusaha menghidupi spiritualitas dari pakaian yang diberikan oleh tarekat.[15]
Pakaian religius mencerminkan kehidupan yang membedakan para religius dari kaum awam biasa. Corak dasar dari pengenaan pakaian religius yang hanya memiliki satu warna juga sebagai satu tujuan yang murni  dan luhur yaitu mengarahkan diri demi tujuan  utama yakni Allah. Pakaian Religius menghadirkan makna pembaktian diri  yang utuh dan satu kepada Allah. Allah yang menjadi tujuan dan puncak kehidupan kaum religius.[16]
2.3.2 Kesaksian Kemiskinan
Kemiskinan pada umumnya menyangkut berbagai bentuk hubungan dengan harta benda. Miskin bisa berarti tidak memiliki banyak harta benda, jadi menunjuk suatu keadaan ekonomis-sosial. Kemiskinan dapat dilihat dari cara menggunakan harta benda; kemiskinan sebagai suatu sikap tidak lekat pada harta-benda, atau sikap lepas bebas. Kemiskinan seperti inilah yang dihayati dan dihidupi oleh para religius. Para religius menghayati kemiskinan demi kerajaan Allah. Kemiskinan demi kerajaan Allah yang dihidupi oleh para religius berarti tidak memiliki banyak harta. Dalam perjanjian baru orang miskin juga dipuji, karena kemiskinannya menyebabkan mereka selalu terbuka untuk merindukan dan mengharapkan Allah sebagai satu-satunya harta milik yang mereka andalkan. Orang-orang miskin ini mempercayakan seluruh hidupnya kepada Allah. Mereka menyadari bahwa tanpa Allah mereka akan rapuh, goyah dan tidak bertahan. Kemiskinan dihayati sebagai ketergantungan kepada Allah merupakan faktor yang terpenting dan utama.[17]
            Kemiskinan demi kerajaan Allah dijalankan sebagai ungkapan iman kepada Allah, yang dihayati sebagai tempat tumpuan harapan para religius. Hal ini mendorong mereka untuk meninggalkan harta benda duniawi sebagai hal yang tidak penting dibandingkan dengan harta kerajaan Allah. Intisari hidup para religius terletak dalam pertemuan dengan Allah, maka kemiskinan para religius mempunyai arti dan nilai dalam rangka ini.[18]
            Pertemuan seorang religius dengan Allah menganggap dunia sebagai relatif saja nilainya, sedangkan Kerajaan Allah merupakan tuntutan tertinggi. Contoh yang jelas ialah para Rasul yang bertemu dengan Yesus dan terpikat oleh-Nya. Bagi mereka tidak ada pilihan lain selain meninggalkan segalanya dan pergi mengikuti Yesus. Rasul Paulus menggambarkan hal ini dengan cara yang amat mengesankan. “Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku lebih muliah dari semuanya” Dari pengalaman st. Paulus itu nampak bahwa kemiskinan, dalam arti melepaskan segala hal yang tadinya dianggap sebagai harta kekayaan sebagai syarat untuk mengikuti Kristus. Maka kemiskinan religius selalu dilihat dalam rangka tuntutan umum untuk mengikuti Kristus.[19]
            Pakaian religius merupakan salah satu bagian dari penghayatan hidup kemiskinan. Letak koherensi antara pakaian religius dengan kemiskinan ialah penggunaan pakaian yang kasar dan tidak mempunyai banyak pernik. Dengan pakaian religius yang kasar dan sederhana mau menunjukan kesederhanaan hidup. Dengan hidup sederhana manusia bisa mengarahkan diri kepada Allah. Dengan demikian akan menjadi sempurna kalau pakaian religius dapat mengahantar kaum religius kepada kesempurnaan.[20]
2.4 Pembaharuan Pakaian Religius dalam Dekrit Perfectae Caritatis pasal 17
            Dalam pembaharuan hidup religius, mengenai pakaian religius Konsili Vatikan II memberi pedoman sebagai berikut:
Hendaknya busana religius, sebagai tanda penakdisan kepada Allah, bersifat sederhana dan ugahari, miskin dan sekaligus pantas, selain itu memenuhi persyaratan kesehatan, dan selaras dengan situasi semasa dan setempat maupun dengan kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan. Busana, baik pria maupun wanita, yang tidak cocok dengan kaidah itu, hendaknya diganti.[21]
Melihat pernyataan ini, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana pembaharuan pakaian religius diwujudkan oleh para religius sendiri, pertanyaan itu tidak berlebihan dikatakan bahwa kharakter hakiki pakaian religius ialah tanda identitas panggilan dalam Gereja di dunia ini. Hal ini mau menunjukan bahwa pakaian dalam kehidupan, tenyata berciri teologis, bukan sekedar moral belaka. Pakaian merupakan jalan menuju kepada manusia lain untuk diterima, pertama orangtua dan saudara tempat anak itu berada. Dalam komunitas itulah melalui bicara dan berpakaian anak itu dimasukan. Pakaian yang membuat tubuh manusia sebagian tak kelihatan, menunjukan bahwa ada kehadiran roh yang tak kelihatan dan rahasia dalam tubuh manusia. Mengenakan pakaian berarti orang menyandang makna, tempat dan peran dalam sebuah komunitas. Pakaiaan mengisyaratkan harga diri. Harga diri merupakan kenyataan manusia, pakaiaan merupakan salah satu ungkapannya.[22]
            Dengan cara berpakaian manusia menunjukan roh apa yang sedang menguasainya. Secara lebih sederhana melalui pakaian manusia sedang menjunjung tinggi nilai apa yang sedang dihayatinya. Pakaian mengisyaratkan nilai, mentalitas dan budaya yang sedang dihayati. Pakaian memang selalu berarti untuk mengungkapkan hubungan mansia dengan diri sendiri, sesama, dan bahka Tuhan. Dalam religiositas, pakaian merupakan ungkapan sikap yang diambil berhadapan dengan Tuhan. Pakaian merupakan ungkapan iman yang menghadirkan sikap rohani.[23]
            Pakaian religius juga membawa makna dan tanda bagi dunia. Hal itu dinyatakan dengan menghayati pakaiaan sebagai ungkapan pengakuan iman sebagai perjalanan ke masa depan dalam Tuhan. Dalam peristiwa baptis, orang memakai atau diberi pakaian putih, sebagai antisipasi akhir dalam perjalanan hidup yaitu kemuliaan dan kesucian, yang diraih melalui derita dan kematian sebagai jalan penyucian diri. Dengan demikian pakaian sudah mengisyaratkan bahwa iman pada salib, misteri wafat dan kebangkitan Kristus merupakan identitas khas orang beriman kristiani. Pakaian baptis merupakan pengakuan iman bahwa Yesus adalah Tuhan. Pakaian religius merupakan kelanjutan dan sekaligus ungkapan radikalitas dalam beriman pada Tuhan.[24]
            Melalui pakaian religius, para religius diajak untuk menghayati ketegangan pakaian sebagai simbol ungkapan iman sekaligus pilihan. Pakaian religius mau mengungkapkan bahwa sebagai pihak pemakai harus semakin murni agar kembali kepada hidup firdaus. Di lain pihak pakaian religius mengajak untuk berkomitmen memakai pakaian Dia yang telah wafat, agar dapat mengantisipasi masuk ke kebahagiaan kekal. Dalam perspektif hakiki berpakaian seperti Yesus di atas, kaum religius diajak untuk berseru melalui pakaian demi menyapa keadaan, waktu dan kondisi tempat secara profetik. Dengan demikian pakaian religius dimaksudkan untuk memperkenalkan dan menghantar kepada kemanusiaan religius melalui penegasan nilai, mentalitas dan budaya hidup, sekaligus menunjuk secara rohani akan hidup kekal yang terkandung dalam diri setiap manusia.[25]
            Pakaian religius selalu dirancang untuk menyatakan tiga hal, yaitu mengungkapkan keakraban dengan Allah bersama Yesus Kristus, mengungkapkan gerak profetik terhadap hidup di dunia dan mengungkapakan dimensi apostolik sebagai penolong dalam kehidupan yang ditandai berbagai persoalan dan pergulatan. Maka pembaruan pakaian biara harus tetap setia kepada tiga dimensi makna pakaian tersebut, itulah yang ditegaskan oleh PC. Dengan dimikian pakaian religius mau menyerukan kepada kita bahwa marilah kita menjadi manusia pendoa, manusia injili dan manusia yang sosial.[26]






BAB III


PENUTUP

3.1 Rangkuman
Dalam kehidupan kaum religius, kita dapat menemukan kurangnya rasa religiositas dan sakralitas yang juga berpengaruh dalam mode pakaian zaman sekarang. Kita ditantang untuk membangkitkan daya tarik ilahi baik melalui cara hidup maupun berpakaian. Terkadang dalam kehidupan kaum religius, pakaian biara bisa membuat keresahan dalam diri. Ada kalanya muncul dalam benak bahwa pakaian yang digunakan warnanya sudah kusam, bentuknya semakin kusut dan modelnya tidak menarik lagi sehingga terkadang kaum religius malu menggunakan pakaian terekatnya. Pandangn ini sangat bertentangan dengan spiritualitas dari pakaian itu sendiri.
            Memang perlu diakui bahwa pakaian religius bukan satu-satunya jalan untuk mencapai pada kehendak Allah, akan tetapi melalui pakaian itu, seorang religius akan mengarahkan diri kepada Allah secara utuh dan menyeluruh. Dengan demikian pembaharuan tentang pakaian religius yang termuat dalam PC mau mendorong kaum religius untuk mewartakan kerajaan Allah lewat spiritualitas pakaiannya sebagai tanda kesaksian hidup bakti dan kemiskinan sebagaimana ditandaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 669, § 1.
3.2 Refleksi
            Dalam bagian terakhir ini penulis mau merefleksikan makna dari pakaian bagi penulis dan mungkin dari refleksi ini penulis dapat memahami makna pakain religius. Dalam kehidupan kita, sering kita mendengar apa yang sering disebut sampul. Ada sampul buku, kaset, produk makanan dan lain-lainya. Sampul biasanya dibuat sedemikian indah dan menarik sehingga membuat menarik perhatian orang yang melihatnya. Singkatnya sampul mencerminkan isi di balik sampul tersebut. Namun dari kenyataan yang sering kita temukan dalam hidup ini masih kita temukan orang-orang yang memalsukan sampul dari suatu produk tertentu. Sampul bukanlah suatu hal yang sederhana seperti yang kita bayangkan. Sampul ternyata bisa memunculkan berbagai interpretasi terhadap barang yang disampul itu. Benar bahwa sampul belum tentu mencerminkan sesuatu dibalik sampul itu. Sikap penuh was-was dan teliti diperlukan sehingga tidak ada kekecewaan karena indahnya sampul.[27]
            Dalam dunia yang global ini, saya mengaitkan sampul dengan gambaran diri. Apa yang tampak melalui gaya bicara, cara berpakaian, nilai kehidupan yang diperjuangkan, talenta, pendidikan, status merupakan sampul dari seseorang. Sampul diri menunjukan eksistensi seseorang dalam berinteraksi dan berelasi. Anda dan saya memiliki sampul yang berbeda. Sampul diri yang kita miliki sejak adanya kita di dunia ini memungkinkan orang lain untuk mengenal kita sekaligus menjadikan kita unik dan khas. Mengapa harus menggunakan sampul orang lain kalau kita bisa menggunakan sampul yang ada pada diri kita, kita akan lebih berarti kalau kita berusaha secara optimal untuk memperindah sampul-sampul yang kita miliki sehingga pada akhirnya dapat dipersembahkan dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Berbeda dengan kehidupan di dunia ini, pada umumnya kaum religius bersampul plus. Selain sampul diri, kaum religius bersampulkan ketiga nasehat injili. Sampul plus inilah yang menadi ciri khas sekaligus menjiwai seluruh segi kehidupan religius agar cinta yang ingin dipersembahkan kepada sang cinta dan sesama lebih total,tulus dan murni.[28]
            Semoga dengan sampul kita masing-masing, kita tidak pernah mengecewakan orang lain. Sampul-sampul itu menjadi bekal bagi kita ketika kita menjawab panggilan-Nya dan siap diutus kemanapun Ia kehendaki.










DAFTAR PUSTAKA
Coriden, James A, et al. (ed) New Commentary on The Code of Canon Law. New York: Paulisat Press, 2000.
J. Darminta. Religius dan Pembaharuan Rohani. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
J. Darminta Spiritualitas Pakaian Religius dalam Majalah Rohani No. 2 Tahun Ke 54, Februari 2007.

Konsili Vatikan II. Dekrit tentang Penyesuaian dan Pembaharuan Hidup Religius “Perfectae Caritatis”. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta Dokumentasi dan Penerangan  KWI-Obor, 1993.

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici, 1983). Edisi Revisi Bahasa Indonesia Jakarta: Obor, 2009


Kieser, Bernhard. Kebiasaan atau Habitus Berbusana Para Rohaniwan/-wati dalam Rohani 2/54 Februari 2007.


Kosat, Alfonsus. Sampul Kehidupan dalam Rohani 2/54 Februari 2007.

Ladjar, Leo Laba. Dasar-dasar Hidup Religius: Inti Hidup. Religius. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Ladjar, Leo Laba (ed.). Karya-karya Fransiskus dari Asisi. Jakarta: SEKAFI, 2002.

Marzoa Angel, Miras Jorge, Rodrigues Rafael (ed.), Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, vol. II Montreal Canada-Chicago, Illinois: Wilson & Lafleur-Midwest Theological Forum, 2004.


           
 






[1] Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius” (PC), no. 1, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993.
[2] A. Sudiarja, “Di Balik Pakaian Biara”, dalam Rohani, 2/54 (Februari 2007), hlm. 3.
[3] A. Sudiarja, “Di Balik Pakaian Biara”, dalam Rohani..., hlm. 3-4.

[4] Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici, 1983). Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: Obor, 2009), kanon 669.
[5] James A. Coriden, et al. (ed) New Comementary on The Code of Canon Law (New York: Paulist Press, 2000) hlm. 837-838.

[6] James A. Coriden, et al. (ed) New Comementary on The..., 838.

[7] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam Rohani 2/5 (Februari 2007), hlm. 5.

[8] J. Darminta, Religius dan Pembaharuan Rohani (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 42.


[9] Leo Laba Ladjar (ed) Karya-karya Fransiskus dari Asisi (Jakarta: SEKAFI, 2002), hlm. 111.

* Melapisinya: Maksudnya mempertebal jubah , lebih-lebih pada bagian dada dan punggung dengan menjahitkan padanya kain yang agak tebal, agar bisa menahan dingin.


[10] Bernhard Kieser, Kebiasaan atau Habitus Berbusana Para Rohaniwan/-wati” dalam Rohani 2/54 (Februari 2007), hlm. 9.


[11] J. Darminta, Religius dan Pembaharuan..., hlm. 58.

*Semacam Jeket dengan tutup kepala.

[12] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam..., hlm. 6.

[13] Leo Laba Ladjar, Dasar-dasar Hidup Religius: Inti Hidup Religius (Seri  Hidup Dalam Roh 5) (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 45.

[14] Leo Laba Ladjar, Dasar-dasar Hidup Religius: Inti..., hlm. 48.


[15] Giuseppe Di Mattia, Exegetical Commentary on the Code of  Canon Law, Vol. II (Montreal Canada Chicago, Illinois: Wilson & Lafleur-midwest Theological Forum, 2004), hlm. 1789.

[16] James A. Coriden, et al. (ed) New Comementary on The..., 839.


[17] Leo Laba Ladjar, Dasar-dasar Hidup Religius: Inti..., hlm. 50.

[18] Leo Laba Ladjar, Dasar-dasar Hidup Religius: Inti..., hlm. 54.

[19] James A. Coriden, et al. (ed) New Comementary on The..., 839-840.

[20] James A. Coriden, et al. (ed) New Comementary on The..., 840-842.

[21]PC. no. 17

[22] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam..., hlm. 8.

[23] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam..., hlm. 8-9.

[24] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam..., hlm. 7.

[25] J. Darminta, “Spiritualitas Pakaian Religius” dalam..., hlm. 7-8.

[26] Leo Laba Ladjar, Dasar-dasar Hidup Religius: Inti..., hlm. 58.
[27] Alfonsus Kosat, “Sampul Kehidupan” dalam Rohani 2/54 (Februari 2007), hlm. 40.


[28] Alfonsus Kosat, “Sampul Kehidupan” dalam Rohani 2/54 (Februari 2007), hlm. 41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar